Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif ini, banyak dari kita sering merasa bahwa apa yang kita miliki belum cukup. Entah itu dalam hal karier, hubungan, keuangan atau bahkan pencapaian pribadi.
Fenomena ini bukan hanya soal ambisi semata, tapi berkaitan erat dengan psikologi manusia modern. Rasa tidak pernah cukup atau never feeling enough telah menjadi masalah umum yang memengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup banyak orang.
Salah satu teori yang menjelaskan hal ini adalah “Hedonic Treadmill Theory” yang dikemukakan oleh psikolog Philip Brickman dan Donald T. Campbell. Menurut teori ini, manusia memiliki kecenderungan untuk cepat kembali ke titik kebahagiaan awal setelah mengalami perubahan besar dalam hidup seperti mendapatkan promosi jabatan atau membeli rumah baru.
Kebahagiaan yang datang bersifat sementara dan setelah itu kita kembali merasa kurang atau ingin lebih. Ini menjelaskan kenapa kita selalu merasa tidak puas, bahkan setelah mencapai sesuatu yang dulu kita impikan.
Selain itu, psikolog terkenal Abraham Maslow lewat “Hierarchy of Needs” juga memberikan wawasan penting. Setelah kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal serta keamanan terpenuhi, manusia akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi seperti cinta, harga diri serta aktualisasi diri.
Namun dalam praktiknya, ketika satu kebutuhan terpenuhi, muncul kebutuhan lain yang terasa lebih penting. Proses ini bisa menciptakan siklus keinginan tanpa akhir yang memicu rasa tidak pernah cukup.
Dari perspektif psikologi modern, kini dengan adanya media sosial turut memperparah masalah ini. Melalui platform seperti Instagram atau TikTok, kita terus menerus dihadapkan pada pencapaian orang lain yang tampak sempurna. Efek ini dikenal sebagai “Social Comparison Theory”, seperti yang dijelaskan oleh psikolog sosial Leon Festinger.
Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang sering hanya menampilkan sisi terbaik hidupnya muncullah perasaan tidak puas, iri hati sekaligus merasa hidup kita tertinggal.
Rasa tidak pernah cukup juga bisa berakar pada pengalaman masa kecil. Psikolog klinis seperti Dr. Nicole LePera menunjukkan bahwa seorang individu yang tumbuh dalam lingkungan di mana cinta dan penerimaan bersifat kondisional, cenderung mengembangkan kepercayaan bahwa mereka harus “mencapai” sesuatu agar layak dicintai. Hal ini bisa menciptakan pola pikir perfeksionis atau workaholic di masa dewasa.
Untuk mengatasi perasaan ini, pendekatan mindfulness dan self-compassion menjadi kunci penting. Psikolog Kristin Neff menekankan pentingnya bersikap welas asih terhadap diri sendiri.
Dengan menerima bahwa kita manusia biasa yang tak sempurna, kita bisa mulai menghargai proses, bukan hanya hasil. Praktik mindfulness membantu kita hadir di saat ini, bukan terus mengejar masa depan yang tak pasti.
Kesimpulannya, perasaan tidak pernah cukup adalah gabungan antara dorongan biologis, tekanan sosial serta pengalaman psikologis masa lalu. Memahaminya menggunakan lensa psikologi modern membantu kita lebih sadar akan dorongan internal dan eksternal yang memengaruhi cara kita melihat hidup.
Dengan pendekatan yang lebih sadar dan penuh kasih terhadap diri sendiri, kita bisa mulai merasa cukup bahkan tanpa harus memiliki segalanya. (Blt)