Pembangunan gedung baru Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Blitar di Kanigoro yang menelan dana hibah APBD lebih dari Rp 4 miliar, adalah ironi besar dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Saat mendesaknya kebutuhan masyarakat karena buruknya layanan pendidikan, kesehatan, dan minimnya lapangan kerja, para pejabat justru sibuk membangun gedung demi “penegakan hukum” yang katanya lebih profesional. Padahal yang dibutuhkan rakyat bukan “gedung” simbol hukum bernaung, tapi kehadiran nyata dari keadilan itu sendiri.
Di tengah situasi ini, mengalokasikan dana Rp 4 miliar lebih untuk pembangunan gedung kejaksaan terasa seperti kemewahan yang tidak pada tempatnya. Alih-alih memperbaiki fondasi kesejahteraan rakyat, anggaran tersebut justru dibelanjakan untuk infrastruktur lembaga negara yang sejatinya sudah bisa beroperasi dari fasilitas sementara, seperti yang sudah dilakukan di gedung eks Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blitar selama ini.
Argumen yang menyatakan bahwa keberadaan gedung permanen diperlukan demi menunjang independensi dan profesionalitas kejaksaan patut dipertanyakan. Independensi penegak hukum semestinya tidak ditentukan oleh megah atau tidaknya gedung mereka, tetapi oleh integritas aparat, mekanisme pengawasan, dan sistem hukum yang transparan.
Memberikan hibah dari APBD kepada lembaga yudikatif juga bukan tanpa konsekuensi. Ada resiko halus yang dapat timbul berupa loyalitas tidak langsung atau rasa “berutang budi”, terutama ketika anggaran besar tersebut dikucurkan dalam situasi keterbatasan fiskal. Walaupun secara struktural Kejaksaan dan Pemkab adalah entitas terpisah, dalam praktiknya, hubungan informal bisa mempengaruhi cara kerja, terutama jika kasus-kasus korupsi daerah harus diusut.
Pihak pendukung pembangunan berdalih bahwa anggaran hibah tersebut melalui mekanisme kajian kebutuhan. Tapi harus dipahami, validitas dari kajian bukan berarti otomatis menyatakan kebijakan itu sebagai yang paling prioritas.
Pemerintah daerah memiliki kebijakan diskresi anggaran, dan dalam kondisi darurat layanan publik seperti saat ini, diskresi itu seharusnya lebih berpihak kepada sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Meskipun gedung Kejari umumnya dibiayai melalui APBD. Namun, menjadi pertanyaan mengapa Pemkab Blitar merasa perlu mendahulukan sektor yang bukan prioritas urgen tersebut?.
Kinerja institusi tidak serta-merta meningkat hanya karena memiliki bangunan baru. Kita seringkali menjumpai, bahwa banyak lembaga dengan gedung megah tetapi tidak menjamin profesionalitas atau netralitasnya.
Mendahulukan pembangunan gedung Kejari di tengah kondisi darurat sosial ekonomi merupakan langkah yang tidak bijak. Ini menunjukkan bahwa prioritas anggaran lebih condong pada simbolisme struktural daripada kebutuhan nyata masyarakat. Pemkab Blitar semestinya lebih peka dan mendahulukan program-program yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup rakyatnya.
Di tengah seruan efisiensi anggaran dan himpitan ekonomi masyarakat, langkah Pemkab Blitar menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk pembangunan kantor Kejari perlu dikritisi. Ini bukan semata soal hukum dan fasilitas, tapi soal keadilan sosial dan tanggung jawab moral pemerintah daerah terhadap rakyatnya.
Jika benar ingin memperkuat penegakan hukum harusnya dimulai dari memperkuat kepercayaan publik, meningkatkan akuntabilitas, dan memberantas korupsi secara nyata, bukan dengan membangun gedung baru. (Blt)