Rusia memiliki sejarah panjang yang penuh liku sebelum akhirnya meletus Revolusi Bolshevik pada awal abad ke-20. Akar negara Rusia dapat ditelusuri ke abad ke-9, saat kota Kiev dan Novgorod disatukan pada tahun 822.
Dua pusat peradaban ini melahirkan entitas politik yang menjadi cikal bakal negara Rusia. Dengan kekuasaan yang berpusat di Kiev, lahirlah negara “Rus” yang diperintah oleh bangsa Slavia Timur dan memperlihatkan ciri khas budaya serta struktur pemerintahan awal Rusia.
Pada tahun 988, Pangeran Vladimir I dari Kiev menetapkan Kristen Ortodoks sebagai agama resmi Rusia, menandai tonggak penting dalam sejarah keagamaan dan budaya bangsa Slavia Timur. Pilihan ini diambil setelah ia mengirim utusan ke berbagai negara untuk menilai ajaran agama besar dunia, dan akhirnya terpesona oleh kemegahan ibadah di Konstantinopel.
Pembaptisan massal di Sungai Dnieper menjadi simbol kristenisasi Rus Kiev, yang sekaligus mempererat hubungan politik dan budaya dengan Kekaisaran Bizantium. Sejak itu, Kristen Ortodoks membentuk identitas spiritual Rusia dan menjadi kekuatan sentral dalam kehidupan sosial serta pemerintahan selama berabad-abad.
Namun, perjalanan awal itu terguncang ketika pada tahun 1240, tentara Mongol datang dari Asia Tengah dan menaklukkan Rusia. Mereka membentuk kekuasaan bernama Gerombolan Emas atau Golden Horde dan menguasai Rusia selama berabad-abad.
Masa kekuasaan Mongol membawa pengaruh besar terhadap sistem birokrasi Rusia, namun juga menekan pertumbuhan budaya dan ekonomi bangsa Rusia yang harus membayar upeti kepada para penguasa Mongol.
Kebangkitan Rusia dimulai pada akhir abad ke-15 saat Ivan III berhasil mengangkat diri sebagai pemimpin yang mampu melawan dominasi Mongol. Meskipun awalnya diangkat sebagai Tsar oleh kekuasaan Mongol pada tahun 1480, Ivan III justru menjadi tokoh yang mengakhiri pengaruh Mongol di Rusia dan mulai membangun fondasi kekaisaran Rusia yang kuat dan merdeka. Di bawah kepemimpinannya, Rusia mulai memperluas wilayah dan menata ulang pemerintahan yang lebih sentralistik.
Puncak perubahan besar terjadi pada masa pemerintahan Peter I atau yang lebih dikenal dengan “Peter the Great”. Ia naik takhta pada tahun 1689 dan memulai proyek modernisasi besar-besaran di seluruh Rusia.
Terinspirasi oleh semangat Renaissance dan kemajuan Eropa Barat, Peter I mengubah wajah Rusia dari negara agraris dan tradisional menjadi kekuatan modern dengan angkatan laut, sistem pendidikan, dan pemerintahan yang terstruktur. Ia juga memaksakan perubahan gaya hidup yang mencerminkan nilai-nilai Eropa.
Sebagai bagian dari ambisi modernisasinya, Peter I mendirikan kota St. Petersburg pada tahun 1703. Kota ini dirancang sebagai “jendela ke Eropa” dan menjadi ibukota baru Kekaisaran Rusia. Letaknya yang strategis di Laut Baltik memperkuat posisi Rusia sebagai kekuatan maritim, dan arsitektur kota ini menjadi simbol perubahan besar dalam arah kebudayaan dan pemerintahan Rusia.
Setelah Peter I, tongkat kekuasaan dipegang oleh Ratu Catharina II yang memerintah dari tahun 1762 hingga 1796. Ia melanjutkan semangat pembaratan dengan lebih agresif dan memulai kebijakan ekspansi melalui apa yang disebut sebagai “Politik Air Hangat” untuk mencari pelabuhan yang tidak membeku.
Kebijakan ini membawa Rusia terlibat dalam konflik melawan Kekaisaran Turki Utsmani, dan kemenangan demi kemenangan memperkuat posisi Rusia di kawasan Balkan dan Laut Hitam.
Meski kekuatan militer dan wilayah Rusia terus berkembang, ketegangan mulai muncul di kalangan intelektual. Kaum terpelajar Rusia terbagi dua aliran yaitu kaum Slavia yang mendorong Pan-Slavisme untuk menyatukan bangsa-bangsa Slavia di bawah nilai-nilai tradisional, dan kaum Barat yang menganjurkan liberalisme serta demokrasi seperti yang berkembang di Eropa Barat. Perpecahan ideologi ini menciptakan dinamika sosial-politik yang tajam di kalangan elite maupun rakyat.
Situasi semakin memburuk ketika Rusia terlibat dalam Perang Krim pada tahun 1853. Dalam perang ini, Rusia menghadapi gabungan kekuatan Turki dan Inggris di Semenanjung Krimea dan mengalami kekalahan memalukan.
Kekalahan ini membuka mata para penguasa bahwa modernisasi militer belum sepenuhnya berhasil dan menunjukkan kelemahan mendasar dalam pemerintahan Rusia yang masih konservatif dan terbelakang.
Di tengah gejolak politik dan konflik, wilayah Rusia terus meluas hingga pada tahun 1855, kekaisaran ini membentang dari Polandia hingga Selat Bering dekat Alaska. Namun, luasnya wilayah itu tidak sebanding dengan stabilitas dalam negeri.
Ketimpangan sosial semakin tajam di era Tsar Nicolas II (1894–1917), di mana industrialisasi berlangsung cepat namun hanya menguntungkan segelintir elit. Rakyat pekerja mengalami eksploitasi besar-besaran, sementara bangsawan hidup dalam kemewahan.
Akibat ketimpangan ini, muncul gerakan sosialisme yang semakin kuat di kalangan buruh dan intelektual. Mereka menentang otoritarianisme Tsar dan menginginkan sistem yang lebih adil.
Para sosialis pun terpecah menjadi dua kelompok besar yakni Menshevik yang moderat dan mengusung sosial demokrasi, serta Bolshevik yang radikal dan bertujuan memprakarsai revolusi proletar.
Ketegangan yang terus meningkat antara rakyat dan pemerintah ini akan segera memuncak dalam Revolusi Bolshevik, sebuah peristiwa besar yang akan mengubah Rusia dan memulai gagasan “Revolusi” sebagai perlawanan dari kaum tertindas di seluruh dunia. (Blt)