Artikel Opini
Beranda » Sejarah Perang Salib 1095 – 1291: Begini Kondisinya Sebelum Perang Dimulai

Sejarah Perang Salib 1095 – 1291: Begini Kondisinya Sebelum Perang Dimulai

Lukisan yang menggambarkan awal Perang Salib.
Lukisan yang menggambarkan awal Perang Salib. (Foto: worldhistory.org)

Pada abad ke-7 di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, umat Islam berhasil merebut Yerusalem dari Kekaisaran Byzantium yakni kekuatan besar Kristen Timur.

Meskipun wilayah ini masuk dalam kekuasaan Islam, umat Kristen tetap diizinkan berziarah secara damai ke tempat-tempat suci mereka. Hal ini mencerminkan toleransi awal pemerintahan Islam.

Namun, stabilitas tersebut mulai goyah pada abad ke-11. Sekitar tahun 1070, Daulah Abbasiyah melemah dan kekuasaan militer-politik Islam diambil alih oleh Kesultanan Seljuk, sebuah kerajaan Turki Muslim yang kuat.

Strategi Pendidikan Inklusif Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan dalam Lingkungan Multikultural

Di bawah Seljuk, peraturan bagi peziarah Kristen ke Yerusalem menjadi lebih ketat, meski bukan dilarang. Celakanya, birokrasi pemerintahannya yang korup justru menjadikan aturan itu ladang pungli terhadap para peziarah Eropa.

Ketegangan meningkat saat Pertempuran Manzikert pada 1071. Dalam pertempuran ini, Kesultanan Seljuk di bawah Alp Arslan mengalahkan pasukan Byzantium yang dipimpin Kaisar Romanos IV Diogenes.

Kekalahan ini membuat Byzantium kehilangan banyak wilayah di Asia Kecil. Kaisar Alexius I Komnenos, penguasa berikutnya melihat perluasan wilayah Seljuk sebagai ancaman besar terhadap eksistensi Byzantium.

Mengenal Mahasiswi PGSD Unisba Blitar yang Jalankan Usaha MUA dan Aktif Berorganisasi

Dalam kondisi terdesak, Kaisar Alexius meminta bantuan Paus Urbanus II menyampaikan bahwa umat Kristen telah dianiaya dan diperas oleh kaum Muslim saat berziarah ke Yerusalem. Informasi ini sengaja dibesar-besarkan untuk memancing simpati dan memobilisasi kekuatan Kristen Barat. Urbanus melihat peluang untuk menyatukan Eropa yang terpecah dan memperkuat otoritas kepausan.

Pada tahun 1095, Paus Urbanus II menggelar Konsili Clermont di Prancis, yang dihadiri bangsawan, raja, serta sebagian besar rakyat Eropa. Di sana, ia menyerukan Perang Suci (Crusade) untuk merebut Yerusalem dari tangan Muslim. Ia menjanjikan pengampunan dosa bagi siapa saja yang ikut serta. Hal tersebut membuat seruan ini bukan hanya menggugah bangsawan, tapi juga massa rakyat miskin, penyamun serta pelarian hukum.

Semangat religius bercampur kepentingan ekonomi dan politik. Para raja dan bangsawan melihat peluang untuk mendapatkan tanah dan kekuasaan, sementara rakyat biasa mencari penebusan dan harapan hidup baru. Maka, Eropa pun mulai bergerak menuju Timur dalam Gelombang Pertama Perang Salib, yang akan menjadi awal konflik panjang berdarah antara dunia Kristen dan Islam.

Langgar Hukum, Enam Anggota Perguruan Silat di Blitar Diamankan Polisi

Sementara itu, Kesultanan Seljuk sebagai kekuatan utama Muslim saat itu, tidak memiliki pemimpin tunggal yang kuat secara politik. Wilayah mereka terpecah dalam sejumlah emirat dan kekompakan di internal dunia Islam sangat lemah, hal ini menjadi salah satu penyebab awal keberhasilan tentara Salib.

Perang yang awalnya dibingkai sebagai perjuangan religius perlahan berubah menjadi konflik perebutan wilayah strategis dan sumber daya, dengan Yerusalem sebagai simbol religius dan geopolitik utama. Bagi Eropa, ini juga menjadi sarana untuk mengekspansi pengaruh ke Timur Tengah.

Dari konflik yang bermula karena provokasi dan manipulasi informasi, Perang Salib kemudian berkembang menjadi perang besar lintas benua yang akan berlangsung selama hampir dua abad yang melibatkan kerajaan, pasukan bayaran, serta rakyat sipil dari dua peradaban besar dunia.

×