Artikel Opini
Beranda » Jawa Tengah: Medan politik yang menentukan dalam Tragedi 1965

Jawa Tengah: Medan politik yang menentukan dalam Tragedi 1965

Pejabat keamanan lokal memberi arahan ke kelompok milisi di Purwodadi, Jawa Tengah. (Foto: Perpustakaan Nasional Indonesia)

Yogyakarta – Di tengah sawah, desa, dan kota kecil yang tenang di Jawa Tengah, sesuatu sedang tumbuh pelan-pelan, bukan revolusi, tapi kebingungan yang dibungkus disiplin dan kesetiaan.

Benedict Anderson dan Ruth McVey, dalam Cornell Paper, menulis bahwa tanpa memahami Jawa Tengah, mustahil memahami peristiwa 30 September.

Bagi mereka, tragedi 1965 bukan hanya soal militer dan ideologi, tapi juga soal struktur sosial dan budaya yang melahirkan karakter khas prajurit-prajurit Indonesia, patuh, mistis, dan terbelah antara loyalitas dan kecurigaan.

Soekarno yang berada di tengah badai dalam Tragedi 1965

Tanah yang Melahirkan Prajurit dan Pengikut

Ben Anderson dan McVey menyebut Jawa Tengah sebagai “inti emosional” Republik. Di sinilah nasionalisme Indonesia lahir, di sinilah bahasa nasional berasal, dan di sinilah sebagian besar perwira muda Angkatan Darat dibentuk.

Namun wilayah ini juga menyimpan paradoks: masyarakatnya taat, tapi mudah diarahkan; disiplin, tapi sensitif terhadap otoritas.

PKI dan kecurigaan yang didesain dalam Tragedi 1965

Itulah sebabnya, tulis mereka, prajurit dari Jawa Tengah sering melihat perintah bukan sebagai instruksi rasional, melainkan sebagai titah moral. “Kesetiaan di Jawa bukan dibangun dari logika militer,” tulis Cornell Paper, “tetapi dari etika kepatuhan yang diwariskan dari istana ke desa.”

Jaringan Sosial dalam Tubuh Militer

Sebagian besar pelaku dan korban peristiwa 30 September berasal dari latar yang sama: anak petani, veteran perang kemerdekaan, dan perwira muda yang kariernya naik bukan karena koneksi politik, tapi karena loyalitas pribadi.

Suharto dan militer Jawa Tengah: Bayangan dalam kudeta 1965

Letkol Untung, Kolonel Latief, hingga Suharto sendiri, semuanya berasal dari wilayah yang berdekatan. Mereka mengenal satu sama lain sejak masa perjuangan, terikat oleh rasa saling percaya khas Jawa, di mana hubungan pribadi sering lebih kuat daripada struktur formal. Ben Anderson dan McVey menilai bahwa jaringan ini menjadi jembatan sekaligus jebakan.

Ketika krisis pecah, hubungan itu membuat mereka mudah saling percaya, tapi juga mudah dimanipulasi oleh mereka yang lebih lihai membaca situasi.

Mistisisme dan Disiplin: Dua Sisi yang Bertabrakan

Siapa Letkol Untung: Perwira, simbol, atau kambing hitam?

Militer di Jawa Tengah, menurut Cornell Paper, juga mewarisi unsur mistik yang kuat.
Banyak perwira percaya pada “tuah” senjata, tanda-tanda gaib, atau pengaruh spiritual pemimpin.

Dalam situasi politik yang tegang, keyakinan seperti ini mudah berubah menjadi rasionalisasi moral, bahwa tindakan ekstrem bisa dibenarkan demi “keseimbangan alam” atau “penyucian revolusi.”

Anderson dan McVey mencatat bahwa semangat “revolusi suci” inilah yang membuat banyak tentara dan warga biasa percaya bahwa membunuh komunis berarti memulihkan harmoni.

Kekerasan menjadi ritual politik, bukan sekadar tindakan militer. “Jawa Tengah bukan sekadar medan pertempuran,” tulis mereka, “tapi panggung di mana keyakinan dan ketakutan tampil dengan kostum militer.”

Dalam struktur militer, perwira dari Jawa Tengah sering dianggap ‘kelas kedua’ dibanding rekan-rekan mereka dari Jawa Barat atau Jakarta yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Ketimpangan ini menciptakan perasaan tertekan, mereka punya senjata, tapi tidak punya suara.

Ben Anderson dan McVey menilai bahwa rasa frustasi ini turut mendorong perwira seperti Letkol Untung dan kawan-kawan untuk mengambil inisiatif sendiri.

Bagi mereka, tindakan “pengamanan revolusi” bukan bentuk pemberontakan, melainkan cara menunjukkan bahwa mereka masih penting. Dan ketika semuanya gagal, wilayah yang sama, Jawa Tengah, menjadi ladang pembantaian paling luas setelah Oktober 1965.

Paradoks Kesetiaan

Setelah G30S, banyak perwira Jawa Tengah yang dulu dekat dengan Soekarno berbalik mendukung Suharto. Ben Anderson dan McVey melihat ini bukan sebagai pengkhianatan, tapi konsekuensi dari budaya kepatuhan yang tidak mengenal oposisi.

Ketika otoritas berubah, kesetiaan ikut bergeser. “Kesetiaan di Jawa Tengah bukan pada ide, tapi pada siapa yang terlihat menang,” tulis mereka.

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×