Artikel Opini
Beranda » Suharto dan militer Jawa Tengah: Bayangan dalam kudeta 1965

Suharto dan militer Jawa Tengah: Bayangan dalam kudeta 1965

Soeharto dan jaringan tentara di Jawa Tengah.

Jakarta – Ketika kabar penculikan para jenderal beredar, banyak orang panik. Tapi di satu markas di Jalan Merdeka Timur, seorang perwira menengah bernama Mayor Jenderal Suharto tidak terlihat panik. Ia menunggu, menganalisis, lalu bergerak, pelan tapi pasti, dan dalam waktu 48 jam menguasai negara.

Dalam Cornell Paper, Benedict Anderson dan Ruth McVey menulis bahwa peran Suharto dalam peristiwa 30 September bukanlah sebagai dalang atau korban, melainkan pihak yang paling siap memanfaatkan kekacauan.

“Dia tidak merencanakan badai,” tulis mereka, “tapi dia tahu bagaimana berlayar di tengahnya.”

Siapa Letkol Untung: Perwira, simbol, atau kambing hitam?

Suharto: Dari Perwira Pinggiran ke Pengendali Situasi

Sebelum peristiwa itu, posisi Suharto di tubuh Angkatan Darat tidak menonjol. Ia memang menjabat sebagai Panglima Komando Strategis (Kostrad), tapi bukan bagian dari lingkaran dekat Jenderal Ahmad Yani, dan sempat dicurigai oleh beberapa rekan sejawatnya.

Namun, ketika kabar penculikan datang, Suharto melihat peluang yang tidak dimiliki siapapun. Ia segera memerintahkan pasukan Kostrad untuk mengamankan Jakarta, merebut RRI, dan menguasai markas telekomunikasi.

Malam 30 September 1965, ada kronologi yang retak

Langkah cepat ini membuatnya mengisi kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah para jenderal senior diculik atau terbunuh. Ben Anderson dan McVey menilai tindakan Suharto “terlalu efisien untuk seseorang yang benar-benar tidak tahu apa-apa.”

Mereka tidak menuduh, tapi menyiratkan bahwa Suharto mungkin sudah tahu sesuatu akan terjadi, hanya tidak tahu kapan dan bagaimana.

Jejak Jawa Tengah: Militer dengan Jaringan Sosial yang Aneh

Mengapa Ben Anderson & McVey menolak narasi resmi dari pemerintah Indonesia soal Tragedi 1965?

Salah satu observasi paling tajam dari Cornell Paper adalah hubungan antara Suharto dan jaringan perwira dari Jawa Tengah. Banyak tokoh kunci G30S, termasuk Letkol Untung dan beberapa komandan batalion, berasal dari wilayah yang sama.

Mereka memiliki latar sosial serupa: anak petani, veteran perang, dan perwira yang tumbuh dalam semangat revolusi, bukan elite militer. Suharto juga berasal dari jaringan yang sama. Ia mengenal banyak di antara mereka secara pribadi, bahkan disebut pernah membantu karier Untung di masa lalu.

Itu sebabnya, tulis Anderson & McVey, Suharto tidak langsung menyerang kelompok G30S secara frontal. Ia menunggu, memetakan kekuatan, lalu bertindak hanya setelah tahu siapa yang bisa dikorbankan. “Reaksi Suharto bukanlah reaksi kepanikan, tapi kalkulasi dingin seorang prajurit Jawa yang memahami pentingnya waktu,” tulis Cornell Paper.

Cornell Paper: Sebuah dokumen yang bahas 1965 dan mengguncang dunia akademik

Gerakan 30 September dan “Kebetulan” yang Terlalu Tepat

Ben Anderson dan McVey menyoroti sejumlah “kebetulan” mencolok: Suharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang menjadi target penculikan. Pasukannya, Kostrad, justru berada di posisi paling siap untuk mengambil alih.

Dan yang paling penting: dalam waktu kurang dari satu hari, ia sudah berhasil membentuk narasi bahwa PKI adalah dalang kudeta. Apakah itu berarti Suharto terlibat dalam perencanaan? Anderson & McVey tidak menyimpulkan sejauh itu. Namun mereka menulis, “Jika bukan dalang, Suharto adalah penerjemah pertama dari kekacauan menjadi kekuasaan.”

Dari Reaksi ke Pengambilalihan

Begitu ia berhasil menenangkan situasi, Suharto mulai bergerak melampaui batas komando. Ia mengeluarkan perintah atas nama Angkatan Darat, menolak instruksi Soekarno, dan membangun pusat kendali di Kostrad.
Dalam beberapa hari, ia bukan lagi perwira yang memulihkan ketertiban, tapi pemimpin militer de facto. Di sinilah, menurut Cornell Paper, kudeta yang sebenarnya justru dimulai. Bukan di Lubang Buaya, bukan pada malam 30 September, melainkan pada saat Suharto mengambil alih wewenang presiden tanpa perintah.

Gerakan yang gagal di tangan Untung, justru berhasil di tangan Suharto. “Kudeta yang sukses bukan yang menembak jenderal,” tulis Anderson & McVey, “melainkan yang menulis ulang arti ‘menyelamatkan negara.’

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×