Artikel Opini
Beranda » Soekarno yang berada di tengah badai dalam Tragedi 1965

Soekarno yang berada di tengah badai dalam Tragedi 1965

Saat Sukarno bermain musik. (Foto: Bicarablitar.com)
Saat Sukarno bermain musik. (Foto: Bicarablitar.com)

Jakarta – Presiden Soekarno berdiri di ambang istana yang mulai retak. Di luar, pasukan bergerak tanpa komando pasti; di udara, propaganda mulai disiarkan; di kepalanya, revolusi yang ia banggakan tampak berubah jadi labirin kekuasaan yang menelannya perlahan.

Benedict Anderson dan Ruth McVey, dalam Cornell Paper, menulis bahwa Soekarno pada hari-hari itu bukan lagi pengendali revolusi, melainkan sandera dari sistem yang ia ciptakan sendiri.

Sang Pengikat Tiga Kekuatan

PKI dan kecurigaan yang didesain dalam Tragedi 1965

Selama lebih dari satu dekade, Soekarno berhasil menjaga keseimbangan mustahil antara tiga pilar utama negara: militer, PKI, dan dirinya sendiri. Ia menyebutnya “Nasakom” nasionalisme, agama, dan komunisme, sebuah formula ideologis yang dimaksudkan untuk menampung semua arus besar politik Indonesia.

Namun, menjelang 1965, keseimbangan itu tinggal ilusi. Militer sudah muak dengan kedekatan Soekarno dan PKI. PKI sendiri terlalu percaya diri, merasa dilindungi langsung oleh sang Presiden.

Sementara Soekarno, seperti dicatat Anderson dan McVey, masih percaya ia bisa mengendalikan badai dengan pidato. “Soekarno berusaha menulis simfoni politik,” tulis mereka, “tapi instrumennya sudah tak lagi mau memainkan nada yang sama.”

Suharto dan militer Jawa Tengah: Bayangan dalam kudeta 1965

Presiden yang Tidak Diberi Informasi

Pada malam 30 September, Soekarno berada di Istana Bogor. Ia mendapat kabar penculikan para jenderal ketika fajar hampir datang. Beberapa jam kemudian, ia menuju Pangkalan Halim, tempat sejumlah perwira, termasuk Letkol Untung, berkumpul.

Di sana, Soekarno tidak marah, tapi juga tidak mengeluarkan perintah tegas. Ben Anderson dan McVey menulis bahwa Soekarno tidak memahami skala peristiwa yang sedang terjadi.

Siapa Letkol Untung: Perwira, simbol, atau kambing hitam?

Baginya, itu mungkin hanyalah salah satu intrik internal militer yang bisa ia atur, seperti yang sering ia lakukan sebelumnya. Namun kali ini, keadaan bergerak lebih cepat dari pidatonya.

“Ia adalah presiden yang paling banyak bicara, tapi pagi itu ia kehabisan kata,” catat Cornell Paper.

Sementara Soekarno masih menenangkan diri di Halim, Suharto sudah bergerak. Dalam waktu beberapa jam, Soekarno kehilangan kendali atas RRI, markas besar TNI, dan opini publik.

Malam 30 September 1965, ada kronologi yang retak

Suharto dengan cepat menyatakan bahwa “Gerakan 30 September” adalah pemberontakan PKI, tanpa konfirmasi presiden. Di sinilah, tulis Anderson & McVey, Soekarno secara simbolik mulai kehilangan kekuasaan.

Ia masih berstatus kepala negara, tapi tidak lagi menentukan arah. Militer menguasai informasi, propaganda, dan senjata , tiga hal yang lebih berkuasa dari jabatan presiden mana pun.

Pada 1 Oktober sore, Soekarno berbicara lewat radio, meminta rakyat tetap tenang. Ia menolak istilah “pemberontakan PKI” dan mengingatkan agar tidak mengambil tindakan gegabah.

Namun suaranya terdengar lemah, jauh dari gaya retorik yang biasa mengguncang massa. Anderson dan McVey mencatat: “Soekarno berbicara seperti pemimpin yang masih ingin dipercaya, tapi tahu bahwa ia sudah tidak didengarkan.”

Keesokan harinya, ketika berita pembunuhan jenderal diumumkan, arus kebencian terhadap PKI menjadi tak terbendung. Pidato-pidato Soekarno tidak lagi bisa menahan apa pun.

Setelah peristiwa itu, Soekarno terus mencoba mempertahankan posisi, dengan reshuffle kabinet, dengan menyerukan revolusi yang “tetap berjalan,” dengan membentuk partai baru. Tapi langkah-langkah itu tidak lagi efektif.

Dalam hitungan bulan, kekuasaan riil sudah berpindah ke tangan militer. Anderson dan McVey menulis: “Soekarno menciptakan revolusi yang terlalu besar untuk dirinya sendiri.” “Ia menyalakan api, tapi lupa bahwa ia berdiri di tengahnya.”

Pada 1967, ia akhirnya dilengserkan, bukan dengan kudeta, tapi dengan prosedur politik yang dibungkus dalam bahasa penyelamatan bangsa. Kekuasaan yang dulu ia jaga dengan ide dan simbol, diambil alih oleh logika senjata dan ketertiban.

Tragedi Seorang Pemimpin

Cornell Paper tidak menggambarkan Soekarno sebagai dalang atau korban semata. Ia digambarkan sebagai arsitek yang jatuh tertimpa bangunannya sendiri. Ia ingin mempersatukan bangsa lewat ideologi, tapi justru membuat negara rapuh oleh kontradiksi yang ia pelihara.

“Soekarno bukan dikalahkan oleh musuh,” tulis Anderson dan McVey, “melainkan oleh keyakinannya sendiri bahwa semua orang bisa disatukan dalam satu panggung revolusi.”

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×