Jakarta – Nama Letnan Kolonel Untung Syamsuri tiba-tiba meledak di seluruh negeri, bukan karena prestasi militernya, tapi karena satu malam yang mengubah sejarah Indonesia.
Bagi negara, ia pengkhianat. Bagi sebagian peneliti, ia prajurit yang terseret arus. Bagi Ben Anderson dan McVey dalam Cornell Paper, Untung hanyalah “perwira menengah yang tidak tahu seberapa besar badai yang ia picu.”
Dari Desa di Jawa Tengah ke Jantung Istana
Untung lahir di daerah kecil di Jawa Tengah, dibesarkan di tengah masa kolonial yang keras. Ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia setelah kemerdekaan dan dikenal sebagai prajurit yang disiplin dan loyal pada Soekarno.
Pada awal 1960-an, ia menjadi bagian dari Batalion 1 Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden, posisi yang menempatkannya langsung di lingkaran kekuasaan.
Ben Anderson dan McVey menilai posisi Untung penting bukan karena pangkatnya, tapi karena kedekatannya dengan istana. Ia dipercaya menghadiri berbagai acara kenegaraan dan dikenal di lingkungan Soekarno sebagai prajurit yang tenang dan patuh.
Namun, justru dari posisi itulah badai dimulai.
Menjelang akhir September 1965, rumor “Dewan Jenderal” beredar kencang.
Kabarnya, para jenderal senior sedang menyiapkan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Sebagai bagian dari Cakrabirawa, Untung punya alasan untuk khawatir, jika benar ada gerakan militer melawan presiden, pasukan pengawal akan jadi sasaran pertama.
Cornell Paper menulis bahwa Untung mungkin mendapat perintah informal untuk mengamankan situasi, bukan melakukan pembunuhan. Tapi di tengah komunikasi militer yang kacau dan perebutan inisiatif di lapangan, operasi “pengamanan” berubah menjadi penculikan dan eksekusi.
“Untung tampaknya mengira ia sedang menjalankan tugas revolusioner,” tulis Anderson & McVey, “tanpa menyadari bahwa ia telah memicu bencana politik yang akan menghancurkan jutaan nyawa.”
Bagi Ben Anderson dan McVey, Untung adalah potret klasik prajurit Indonesia pada masa itu, setia tapi tanpa akses pada informasi strategis. Ia hanya tahu sebagian kecil dari rencana yang lebih besar, dan bahkan itu pun tidak jelas sumbernya.
“Gerakan 30 September,” tulis mereka, “tampaknya lebih mirip upaya beberapa perwira menengah untuk melindungi Soekarno dari ancaman internal, bukan menggulingkannya.”
Namun, ketika operasi gagal dan situasi dibalik oleh Suharto, nama Untung langsung dijadikan wajah tunggal dari pemberontakan yang gagal. Dalam beberapa hari, media militer menulis ulang citranya: dari pengawal presiden menjadi pengkhianat bangsa.
Eksekusi yang Menutup Cerita
Untung ditangkap pada Oktober 1965 di Jawa Tengah, diadili dalam sidang militer tertutup, dan dihukum mati. Tidak ada pembelaan publik, tidak ada bukti yang diuji secara terbuka.
Negara memutuskan nasibnya sama cepatnya seperti ia menghapus sejarah yang lebih luas di belakangnya. Ben Anderson dan McVey mencatat bahwa proses ini adalah bagian dari pembersihan politik yang lebih besar.
Membunuh Untung berarti menyederhanakan cerita: tidak ada lagi pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya memerintah, siapa yang salah, atau siapa yang diuntungkan.
“Setiap rezim butuh wajah bagi dosanya,” tulis laporan itu, “dan Untung dijadikan simbol agar rakyat berhenti mencari yang lain.”
Dari Manusia ke Mitos
Dalam propaganda Orde Baru, nama Untung muncul di setiap buku sejarah dan film wajib. Ia digambarkan sebagai pengkhianat berdarah dingin, seolah seluruh tragedi 1965 bisa disematkan di pundaknya seorang diri.
Padahal, bagi Cornell Paper, Untung hanyalah satu dari sekian banyak perwira muda yang terjebak dalam sistem kekuasaan tanpa arah, seorang prajurit yang kehilangan kendali atas perang yang bahkan bukan miliknya.
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

