Jakarta – Enam puluh tahun sudah berlalu sejak pembunuhan massal 1965. Pemerintahan berganti, bahasa politik berubah, tapi inti persoalannya tetap: negara belum menebus dosanya sendiri.
Setiap pidato tentang “penyelesaian pelanggaran HAM berat” hanya berhenti di mikrofon, tidak pernah menyentuh tanah tempat para korban dikubur. Pertanyaannya kini sederhana dan sudah terlalu lama diabaikan: apa yang seharusnya dilakukan negara setelah diam selama setengah abad?
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut tiga hal: pengakuan, kebenaran, dan pemulihan. Tiga kata yang kelihatannya mudah diucapkan, tapi selalu gagal dijalankan.
1. Pengakuan: Mengatakan yang Selama Ini Disembunyikan
Langkah pertama bukan pengadilan, bukan ganti rugi, tapi pengakuan. Negara harus mengucapkan kebenaran paling dasar: bahwa pembunuhan massal 1965 dilakukan secara sistematis oleh aparat negara, dengan dukungan dan pembiaran institusi militer.
Selama pengakuan itu belum diucapkan, semua program “rekonsiliasi” hanya basa-basi moral. Permintaan maaf setengah hati tanpa menyebut pelaku hanyalah kalimat kosong yang ditulis untuk keperluan diplomasi.
“Keadilan tidak lahir dari belas kasihan, tapi dari keberanian untuk menyebut pelaku dengan nama,” tulis Dalih Pembunuhan Massal.
2. Kebenaran: Membuka Arsip dan Kuburan
Tanpa data, kebenaran tetap jadi gosip sejarah. Negara punya kewajiban membuka arsip resmi militer, kepolisian, dan intelijen yang selama ini ditutup dengan alasan keamanan nasional.
Padahal yang dijaga bukan keamanan, tapi reputasi lembaga. Selain itu, pencarian kuburan massal harus diakui sebagai program resmi negara, bukan proyek independen yang dibayangi ancaman.
Tulang-tulang yang ditemukan bukan hanya milik keluarga, tapi milik sejarah bangsa.
“Selama negara menolak menggali, ia menolak mengubur dirinya yang dulu,” tulis laporan itu.
3. Pemulihan: Mengembalikan Hak yang Dirampas
Puluhan ribu penyintas dan keluarga korban masih hidup tanpa status hukum yang jelas. Sebagian besar kehilangan hak waris, pekerjaan, bahkan akses terhadap pendidikan. Negara bisa mulai dengan langkah sederhana: rehabilitasi administratif dan sosial.
Nama-nama yang dicap “ET” harus dihapus dari catatan sipil. Anak-anak korban harus dipulihkan haknya sebagai warga negara tanpa stigma.
Dan, untuk pertama kalinya, negara perlu menyediakan kompensasi yang layak bagi mereka yang kehilangan hidup karena kekerasan yang dilakukan oleh aparatnya sendiri. Pemulihan bukan berarti mengembalikan segalanya, tapi mengakui bahwa yang diambil tidak seharusnya dirampas.
Rekonsiliasi bukan acara seremoni di istana atau pertemuan dengan bunga di meja. Ia hanya bisa lahir jika ada pengakuan jujur dan pelibatan korban sebagai subjek, bukan objek. Selama korban hanya dijadikan latar, rekonsiliasi hanyalah kosmetik politik.
“Yang dibutuhkan bukan upacara damai,” tulis laporan itu, “tapi keberanian untuk mendengarkan mereka yang paling lama disuruh diam.”
Selalu akan ada pihak yang menolak. Mereka yang menikmati hasil dari penyangkalan tentu ingin sejarah tetap kabur. Mereka akan menuduh pengungkapan ini sebagai “membuka luka lama.”
Tapi luka yang tak dibersihkan tidak akan sembuh, hanya membusuk dalam diam.
Membuka masa lalu bukan penghinaan bagi bangsa, tapi syarat agar bangsa ini berhenti hidup dalam kebohongan.
Tanggung jawab negara bukan hanya milik presiden, tapi juga masyarakat. Kita hidup di atas tanah yang menyembunyikan kuburan massal, dan kita menikmati kemerdekaan yang dibangun di atas penyingkiran jutaan orang.
Setiap guru yang tetap mengajarkan versi palsu sejarah, setiap pejabat yang menolak membuka arsip, setiap warga yang membiarkan kebisuan itu, semuanya bagian dari masalah.
“Kebenaran bukan hanya tugas negara,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “tapi juga ujian moral bagi rakyat yang mengaku telah merdeka.”
Sebagian besar penyintas kini berusia di atas delapan puluh tahun. Waktu mereka tinggal sedikit, dan waktu bagi negara untuk menebus kesalahannya hampir habis. Jika keadilan tidak datang sekarang, maka ia akan datang terlambat, terlalu terlambat.
Namun harapan masih hidup, dalam suara cucu-cucu penyintas yang menolak diam, dalam arsip digital yang terus diperbarui, dan dalam masyarakat sipil yang terus menulis ulang sejarah bangsa.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

