Setelah lebih dari tiga abad dijajah Spanyol, rakyat Filipina akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya pada 12 Juni 1898. Namun, harapan itu pupus ketika Spanyol dan Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Paris pada 10 Desember 1898.
Dalam perjanjian tersebut, Filipina diserahkan kepada Amerika dengan imbalan 20 juta dollar. Amerika Serikat tidak mengakui kemerdekaan yang telah diproklamasikan Emilio Aguinaldo, melainkan menganggap Filipina sebagai wilayah jajahannya yang sah.
Kekecewaan rakyat Filipina atas sikap Amerika memicu Perang Filipina-Amerika (1899–1902). Dipimpin oleh Aguinaldo, rakyat Filipina melakukan perlawanan sengit. Namun, kekuatan militer Amerika yang jauh lebih unggul membuat perlawanan tersebut akhirnya dipatahkan. Aguinaldo ditangkap pada 1901 dan perlawanan bersenjata mulai surut, meski sejumlah gerakan gerilya terus berlangsung di daerah-daerah.
Setelah berhasil menguasai Filipina, Amerika mulai membentuk pemerintahan kolonial dengan wajah yang berbeda dari Spanyol. Pendidikan modern ala Barat diperkenalkan, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa resmi dan infrastruktur dibangun. Namun di balik modernisasi tersebut, kontrol politik tetap berada di tangan Amerika dan rakyat Filipina belum diberi kedaulatan penuh.
Meski demikian, muncul elite baru Filipina yang mulai terlibat dalam politik kolonial. Pada 1919, delegasi Filipina yang dipimpin Manuel L. Quezon berangkat ke Washington untuk menuntut kemerdekaan penuh. Mereka menekankan bahwa Filipina telah memiliki pengalaman politik dan pemerintahan yang cukup untuk berdiri sendiri sebagai negara merdeka.
Tuntutan Quezon dan delegasinya tidak langsung dikabulkan. Sebagai tanggapan, pemerintah Amerika mengirimkan The Wood-Forbes Mission pada 1922. Misi ini menyimpulkan bahwa Filipina belum siap untuk merdeka dan masih memerlukan bimbingan politik dari Amerika. Kesimpulan ini ditolak mentah-mentah oleh rakyat Filipina yang melihatnya sebagai bentuk pelecehan terhadap perjuangan mereka.
Meskipun ditolak, tuntutan kemerdekaan terus menggema. Tokoh-tokoh nasional terus memperjuangkan kemerdekaan di parlemen kolonial maupun lewat diplomasi internasional.
Gerakan kemerdekaan Filipina mulai meluas dan didukung oleh berbagai lapisan masyarakat. Amerika mulai memberikan otonomi terbatas, namun belum memberikan janji kemerdekaan yang jelas.
Situasi berubah drastis ketika Perang Dunia II meletus. Pada tahun 1942, pasukan Jepang berhasil menduduki Filipina dan Manila jatuh ke tangan Jepang. Pendudukan ini mengakhiri pemerintahan kolonial Amerika untuk sementara. Jepang mendirikan pemerintahan boneka yang dipimpin oleh Presiden Jose P. Laurel, dengan dalih membebaskan Asia dari imperialisme Barat.
Namun, pemerintahan Jepang tidak benar-benar membawa kemerdekaan. Rakyat Filipina kembali mengalami penindasan, kerja paksa, kelaparan serta kekerasan militer. Di bawah pendudukan Jepang, rakyat Filipina kembali mengangkat senjata. Kali ini, mereka berjuang bersama Sekutu untuk merebut kembali kebebasan mereka dari kekuasaan asing.
Pengalaman pendudukan Jepang semakin menguatkan tekad bangsa Filipina untuk merdeka sepenuhnya. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika tidak ada lagi kekuasaan asing di tanah mereka, baik dari Barat maupun dari Timur. Perjuangan pun terus berlanjut, baik melalui jalur diplomasi maupun perlawanan bersenjata.
Dengan jatuhnya Jepang dan berakhirnya Perang Dunia II, jalan menuju kemerdekaan Filipina terbuka lebar. Tekanan internasional, semangat rakyat sekaligus janji Amerika sendiri mendorong terbentuknya negara Filipina yang merdeka secara resmi.