Artikel Opini
Beranda » PKI dan kecurigaan yang didesain dalam Tragedi 1965

PKI dan kecurigaan yang didesain dalam Tragedi 1965

DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang riwayatnya berakhir tragis usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965.
DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang riwayatnya berakhir tragis usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Jakarta – Dalam hitungan hari setelah peristiwa G30S, satu kesimpulan langsung diumumkan ke publik: Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang.

Tidak ada penyelidikan, tidak ada proses hukum, tidak ada bukti yang diuji. Namun, keputusan itu diterima seluruh bangsa, bukan karena meyakinkan, tapi karena diulang setiap jam, di setiap saluran.

Benedict Anderson dan Ruth McVey, dalam Cornell Paper, menolak kesimpulan itu secara sistematis. Bagi mereka, kecurigaan terhadap PKI bukan hasil dari bukti, melainkan hasil dari desain politik yang sudah disiapkan jauh sebelum malam 30 September.

Suharto dan militer Jawa Tengah: Bayangan dalam kudeta 1965

Partai yang Terlalu Besar untuk Tidak Ditakuti

PKI tahun 1965 adalah fenomena politik langka. Dengan lebih dari tiga juta anggota, jaringan organisasi massa yang menjangkau hingga desa-desa, dan dukungan terbuka dari Soekarno, partai ini menjadi kekuatan politik yang menggeser peta kekuasaan lama.

Namun, kekuatan besar itu datang dengan harga mahal: ketakutan. Bagi Angkatan Darat dan kelompok konservatif, PKI adalah hantu yang menghantui republik muda, ideologinya dianggap asing, fanatik, dan anti-agama.

Siapa Letkol Untung: Perwira, simbol, atau kambing hitam?

Ben Anderson dan McVey menulis bahwa ketakutan terhadap PKI sudah disiapkan secara psikologis sejak awal 1960-an, lewat propaganda yang mengaitkan setiap konflik sosial dengan “pengaruh komunis.”

Sehingga ketika G30S terjadi, rakyat sudah siap membenci bahkan sebelum tahu siapa pelakunya. “Tuduhan itu tidak membutuhkan bukti,” tulis Cornell Paper, “karena kebencian sudah lebih dulu dipupuk dengan sabar.”

Narasi yang Dibangun dalam 24 Jam

Malam 30 September 1965, ada kronologi yang retak

Segera setelah Suharto mengambil alih kendali militer, media dikendalikan ketat. Koran-koran besar seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menerbitkan laporan “resmi” bahwa G30S adalah pemberontakan PKI yang gagal.

Poster, pamflet, dan pidato mulai menggambarkan para komunis sebagai penjahat biadab, dengan cerita sadis tentang penyiksaan jenderal di Lubang Buaya, cerita yang, menurut penelitian kemudian, tidak memiliki dasar forensik.

Ben Anderson dan McVey melihat kecepatan pembentukan narasi ini sebagai tanda bahwa penyusunan opini publik sudah direncanakan lebih dulu. “Tidak ada kekuasaan yang mampu menciptakan cerita sekompleks itu hanya dalam dua hari,” tulis mereka, “kecuali jika naskahnya sudah siap menunggu peristiwa.”

Mengapa Ben Anderson & McVey menolak narasi resmi dari pemerintah Indonesia soal Tragedi 1965?

PKI yang Tidak Bertindak

Salah satu argumen terkuat dalam Cornell Paper adalah paradoks besar: jika PKI benar-benar merencanakan kudeta, mengapa mereka tidak melakukan apa pun setelah itu terjadi? Tidak ada mobilisasi massa. Tidak ada instruksi dari pimpinan.

Bahkan Aidit, ketua PKI yang disebut dalang utama, justru terlihat kebingungan dan segera melarikan diri dari Jakarta. “PKI tampak lebih seperti partai yang tertangkap dalam situasi yang tidak mereka pahami,” tulis Anderson & McVey.

Gerakan mereka yang biasanya disiplin dan terorganisir mendadak lumpuh total, tanda bahwa mereka tidak tahu permainan apa yang sedang berlangsung.

Ben Anderson dan McVey menyoroti pola klasik dalam politik kekuasaan: ketika krisis terjadi, negara akan menciptakan musuh bersama untuk menyatukan rakyat. PKI menjadi sasaran sempurna. Partai besar, ideologi asing, dan citra ateis, semua itu membuat mereka mudah dijadikan simbol kejahatan nasional.

Militer segera memanfaatkan situasi untuk melancarkan apa yang disebut pembersihan ideologis. Dalam waktu enam bulan, ratusan ribu orang dibunuh, jutaan lainnya ditahan tanpa pengadilan. Semuanya dilakukan atas nama “menumpas PKI.” “Kudeta gagal hanya menjadi alasan,” tulis Cornell Paper.

Dari Tuduhan ke Doktrin

Selama lebih dari tiga dekade, versi resmi negara menjadi kebenaran tunggal. Anak-anak diajari bahwa PKI haus darah. Film wajib tonton tiap 30 September memperkuat gambaran itu, lengkap dengan visualisasi kejam yang dikarang dengan imajinasi propaganda.

Ben Anderson dan McVey menulis, “Narasi tentang pengkhianatan PKI tidak ditujukan untuk menjelaskan masa lalu, tapi untuk mengontrol masa depan.” Dengan menciptakan musuh abadi, negara memastikan rakyat tidak pernah bertanya siapa sebenarnya yang berkuasa setelah darah berhenti mengalir.

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×