Jakarta – Dari luar, Angkatan Darat tampak sebagai institusi paling disiplin di Indonesia. Tapi di dalamnya, seperti ditulis Benedict Anderson dan Ruth McVey dalam Cornell Paper, tentara justru sedang berada dalam perang kecil antar dirinya sendiri.
Bukan pertempuran bersenjata, tapi konflik loyalitas, ideologi, dan ambisi. Mereka semua bersumpah setia pada negara dan Soekarno, tapi diam-diam mempersiapkan diri untuk hari ketika sumpah itu mungkin harus dilanggar.
Pasca-kemerdekaan, TNI lahir dari laskar rakyat, bukan dari struktur profesional seperti di negara lain. Itulah sebabnya, sejak awal, loyalitas dalam militer lebih bersifat personal daripada institusional.
Perwira muda lebih patuh pada komandan yang pernah berjuang bersamanya ketimbang pada rantai komando resmi. Ben Anderson dan McVey menulis:
“Angkatan Darat Indonesia bukan organisasi vertikal, melainkan jaringan pertemanan bersenjata.”
Ketika situasi politik makin panas, jaringan itu menjadi medan tarik-menarik pengaruh antara dua kekuatan utama: mereka yang ingin menjaga posisi Soekarno dan mereka yang melihat masa depan di bawah kendali militer sendiri.
Dua Dunia dalam Satu Seragam
Di satu sisi ada kelompok “revolusioner”, perwira muda yang masih memegang semangat 1945, percaya pada ideologi Nasakom, dekat dengan Soekarno, dan tidak terlalu alergi terhadap PKI.
Di sisi lain, kelompok “stabilisator” perwira senior, lebih pragmatis, sering berhubungan dengan Amerika Serikat dan kekuatan ekonomi baru di Jakarta. Kedua kelompok ini hidup berdampingan, tapi saling curiga.
Mereka menghadiri rapat yang sama, berbaris di parade yang sama, namun saling mencatat gerak-gerik satu sama lain. Cornell Paper menggambarkannya begini: “Tentara Indonesia hidup dalam keadaan ganda, revolusioner di depan publik, tapi konspiratif di dalam baraknya sendiri.”
Perpecahan Komando
Menjelang 1965, struktur komando militer sebenarnya sudah longgar. Jenderal Ahmad Yani, Panglima Angkatan Darat, dikenal loyal pada Soekarno, tapi tidak mampu mengendalikan semua bawahannya.
Beberapa komandan daerah bertindak seperti raja kecil, menjalankan operasi dan kebijakan sendiri. Ben Anderson dan McVey menulis bahwa ketika G30S terjadi, tidak ada satu pun perwira yang benar-benar tahu siapa yang mengendalikan apa.
Pasukan bergerak tanpa perintah pusat, dan komunikasi antara markas besar serta satuan daerah praktis kacau. “Tidak ada kudeta yang lebih aneh,” tulis mereka, “di mana setiap pihak mengira sedang mematuhi perintah dari pihak lain.”
Di balik ideologi dan loyalitas, ada faktor yang lebih manusiawi: ambisi pribadi. Banyak perwira muda frustrasi karena karier mereka mandek. Perwira senior yang dekat dengan Soekarno dianggap menutup jalan promosi.
Situasi ini menciptakan atmosfer iri, dendam, dan spekulasi yang mudah meledak. Bagi Anderson dan McVey, G30S adalah ledakan dari ambisi yang terlalu lama ditekan. Gerakan itu bukan hasil satu komando besar, tapi kombinasi dari terlalu banyak inisiatif kecil yang saling bertabrakan.
Suharto di Tengah Kekosongan
Ketika perpecahan mencapai puncaknya, Suharto muncul bukan sebagai pemersatu, tapi sebagai penyusun ulang sistem kekuasaan. Ia memanfaatkan kebingungan struktur itu untuk membangun pusat kendali baru di bawah dirinya.
Begitu situasi stabil, semua loyalitas pribadi diubah menjadi loyalitas tunggal, pada “Negara” yang kini berarti dirinya. “Suharto menutup perang saudara di dalam tentara dengan membuat semua orang tunduk padanya,” tulis Cornell Paper.
Pasca-1965, militer tidak lagi menjadi alat negara, melainkan negara itu sendiri. Dari sistem keamanan, ekonomi, hingga politik lokal, semuanya diambil alih oleh struktur militer.
Yang dulu adalah konflik internal, berubah menjadi mesin kekuasaan yang menekan seluruh rakyat. Ben Anderson dan McVey menutup analisisnya dengan kalimat yang dingin tapi tepat: “Militer Indonesia tidak lagi bertempur untuk negara. Ia bertempur untuk mempertahankan bayangannya sendiri tentang negara.”
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

