Artikel Opini

Menggagas gerakan mahasiswa untuk perubahan lokal

(Dok. Alex Cahyono)

Oleh Alex Cahyono, Ketua PMII Komisariat Madjapahit Unisba Blitar

Kita hidup di zaman di mana janji-janji politik terlalu sering berubah jadi abu. Pada realitas lokal, wajah kekuasaan sudah kehilangan malu.

Anggaran dibacakan dengan penuh kebanggaan, tetapi di lapangan kita hanya menemukan jalan berlubang, pelayanan lambat yang membuat rakyat yang makin hari makin sengsara.

Hujan deras picu longsor di Gandusari Blitar, satu keluarga alami luka dan robohkan rumah

Pertanyaannya sederhana, sampai kapan kita diam?

Mahasiswa bukan hanya penonton. Kita lahir dari rahim sejarah yang mengajarkan bahwa mundur atau diam adalah bentuk pengkhianatan. Kita boleh berbeda kampus, jurusan bahkan berbeda organisasi tapi di hadapan ketidakadilan kita hanya punya dua pilihan yakni melawan atau tunduk.

Gerakan ini harus dimulai dengan keberanian membaca data. Karena tanpa fakta, kritik (menurut bedebah) hanya omong kosong. Bukalah laporan anggaran, bongkar kebijakan, tunjukkan cacatnya!. Dari situ kita bicara. Dari situ kita melawan!.

Balita usia 3 tahun di Blitar meninggal tersengat listrik dari gardu PLN, siapa yang bertanggung jawab?

Selanjutnya, gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti di meja diskusi. Kita harus keluar dari ruang kelas yang pengap dan turun menjejak tanah. Mendengarkan suara pedagang yang kalah oleh pungutan, petani yang tanahnya terancam, buruh yang gajinya dipermainkan.

Hari ini penulis tidak sedang mencari sensasi atau caper (seperti yang dikatakan si tempramen itu). Kita menuntut pertanggungjawaban. Pemerintahan lokal ini telah gagal menjalankan janji dan kewajiban. Kegagalan itu tidak boleh terus ditutupi.

Mahasiswa harus menjadi saksi yang lantang, sekaligus hakim moral yang berani berkata enough is enough!

Perampokan pecah kaca di Blitar, uang Rp150 juta untuk bayar panen jagung raib

Ingat, perlawanan kita bukan sekadar marah-marah. Hal ini lahir dari nurani, dipandu akal sehat dan diarahkan untuk perubahan nyata. Jika penguasa menutup telinga, maka kita akan mengetuk pintu sejarah dengan teriakan. Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani berdiri, bukan pada mereka yang memilih bersembunyi di balik kursi kekuasaan!.

Lebih baik kita mati di jalan perjuangan daripada tenang di ruang nyaman sambil melihat rakyat makin ditindas. Karena pada akhirnya, mahasiswa yang diam hanyalah selembar ijazah berjalan. Sedangkan mahasiswa yang melawan, adalah kunci zaman meski bui, bunuh, buang jadi ancaman.

East Java local guides gelar acara “Tanya Jawab Connect Bareng Moderator” secara online
×