Jakarta – Begitu kabar kudeta 30 September menyebar, pemerintah Orde Baru bergerak cepat membangun satu narasi tunggal: PKI adalah dalang tunggal pembunuhan para jenderal. Narasi ini diulang di koran, di sekolah, di film wajib tonton, dan di kepala jutaan rakyat Indonesia.
Tapi di seberang samudra, dua akademisi muda justru menulis kesimpulan sebaliknya: cerita itu terlalu rapi untuk benar. Benedict Anderson dan Ruth McVey, dalam Cornell Paper, menolak keabsahan narasi resmi bukan karena ideologi, tapi karena logika dan bukti tidak cocok.
Bagi mereka, G30S bukan kisah tentang konspirasi besar, tapi tentang kebingungan, perebutan inisiatif, dan kesempatan yang dimanfaatkan.
Narasi Resmi: Kebohongan yang Sempurna
Versi pemerintah berbunyi sederhana: PKI, dengan izin Soekarno, merencanakan kudeta untuk merebut kekuasaan. Letkol Untung hanyalah boneka partai.
Gerakan 30 September dikoordinasikan dengan brutal dan berhasil membunuh enam jenderal sebelum dihancurkan Suharto yang “menyelamatkan negara.” Cerita itu disebarkan secara konsisten lewat film Pengkhianatan G30S/PKI, pidato kenegaraan, dan pendidikan sejarah selama lebih dari tiga dekade.
Namun, bagi Anderson dan McVey, cerita itu justru terlalu sempurna untuk krisis yang begitu kacau.
Anderson dan McVey menemukan banyak kejanggalan mendasar: Koordinasi militer yang buruk. Gerakan ini melibatkan beberapa batalion dari pasukan yang berbeda tanpa komunikasi jelas.
Tidak ada rencana politik pasca-kudeta. Para pelaku tampak tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah penculikan jenderal.
Tidak ada bukti langsung perintah dari PKI. Semua tuduhan terhadap Aidit dan partainya muncul setelah militer mengambil alih narasi. “Gerakan ini,” tulis mereka, “lebih tampak seperti operasi militer lokal yang kehilangan kendali, bukan kudeta nasional yang dirancang partai politik besar.”
PKI yang Terlalu Tenang untuk Dalang Kudeta
Jika PKI benar-benar dalang, mereka seharusnya siap bergerak begitu gerakan dimulai. Tapi pada pagi 1 Oktober, justru tidak ada mobilisasi besar. Kantor partai di Jakarta tetap beroperasi seperti biasa.
Aidit sendiri tampak bingung dan baru meninggalkan Jakarta setelah situasi kacau. “Partai sebesar PKI tidak mungkin merencanakan kudeta tanpa mempersiapkan struktur pengambilalihan kekuasaan,” tulis Cornell Paper. “Yang terjadi menunjukkan kebingungan, bukan konspirasi.”
Anderson dan McVey menyimpulkan bahwa PKI mungkin tahu sesuatu akan terjadi, tapi tidak tahu sebesar apa. Mereka lebih mungkin “menumpang” pada situasi militer yang sedang bergejolak, bukan pencipta utamanya.
Narasi resmi menggambarkan Soekarno sebagai korban manipulasi PKI. Tapi Anderson & McVey menolak gambaran itu mentah-mentah. Menurut mereka, Soekarno justru mengetahui adanya ketegangan di militer dan berusaha menanganinya dengan cara khasnya, kompromi yang gagal.
Ia memang dekat dengan PKI, tapi juga tergantung pada militer untuk menjaga stabilitas. Soekarno bukan pion; ia pemain yang mulai kehilangan pengaruh di papan catur yang ia buat sendiri. “Soekarno tidak mengendalikan situasi, tapi ia juga tidak dikendalikan. Ia hanyalah pusat badai yang tak lagi punya arah angin.”
Motif Militer: Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan paling mendasar dalam setiap analisis politik: siapa yang mendapat keuntungan? Dan dalam kasus 1965, jawabannya jelas: militer, terutama Angkatan Darat.
Setelah G30S, Suharto dan kawan-kawan memegang kendali penuh atas negara. PKI dihancurkan, Soekarno disingkirkan, dan militer menjadi kekuatan politik dominan selama 32 tahun berikutnya.
Anderson dan McVey tidak secara langsung menuduh, tapi menulis kalimat yang cukup menusuk: “Jika satu pihak kehilangan kekuasaan dan pihak lain mendapat segalanya, maka kita harus berhenti bertanya siapa yang memulai, dan mulai bertanya siapa yang diuntungkan.”
Penolakan Anderson & McVey terhadap narasi resmi bukan hanya urusan akademik.
Ia mengancam dasar legitimasi rezim Orde Baru. Karena jika PKI bukan dalang, maka yang membangun kekuasaan di atas jutaan korban bukanlah penyelamat bangsa, tapi pelaku sejarah yang menulis ulang versinya sendiri.
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

