Jakarta – Waktu itu, angin dari arah Halim terasa berat. Ibukota gelap, tapi udara politik jauh lebih panas dari biasanya. Di berbagai markas militer, telepon berdering; sebagian dijawab dengan gugup, sebagian dibiarkan mati.
Menjelang tengah malam, kelompok bersenjata bergerak, membawa daftar nama, bukan perintah resmi. Laporan Cornell Paper karya Benedict Anderson dan Ruth McVey membuka bab peristiwa itu dengan kalimat dingin: “Apa yang terjadi pada malam 30 September bukanlah kudeta, melainkan serangkaian tindakan yang kehilangan arah begitu dimulai.”
Sekitar pukul 23.00, sekelompok perwira muda dari beberapa batalion, termasuk Batalion 1 Cakrabirawa, satuan pengawal presiden, mulai bergerak. Target mereka: enam jenderal Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan “kudeta Dewan Jenderal” terhadap Presiden Soekarno.
Tapi di titik inilah logika peristiwa mulai retak. Tidak ada dokumen perintah, tidak ada rantai komando yang bisa diverifikasi. Semua operasi dilakukan berdasarkan kabar dari mulut ke mulut, yang disebut-sebut berasal dari “Letkol Untung,” tanpa kejelasan otoritas politik di belakangnya.
“Tidak ada tanda bahwa perintah ini berasal langsung dari presiden, PKI, atau markas besar Angkatan Darat,” tulis Cornell Paper.
Gerakan yang Tidak Seragam
Menjelang pukul 01.00 dini hari, pasukan mulai bergerak ke rumah para jenderal. Tapi tiap kelompok bertindak dengan cara berbeda, ada yang menembak, ada yang menculik hidup-hidup, ada yang gagal menemukan targetnya sama sekali.
Dari enam jenderal yang menjadi sasaran, sebagian dibunuh di tempat, sebagian dibawa ke Lubang Buaya. Anderson dan McVey menulis bahwa pola operasi ini menunjukkan minimnya koordinasi dan lemahnya perencanaan.
Gerakan yang seharusnya terencana malah tampak seperti aksi panik yang dijalankan dengan separuh informasi. “Pasukan yang terlibat tampak tidak tahu siapa sebenarnya musuhnya,” catat laporan itu.
Soekarno dan Suharto yang Bergerak dalam Gelap
Sementara itu, Presiden Soekarno malam itu berada di Istana Bogor, dan kabar penculikan baru sampai kepadanya menjelang pagi. Ia segera menuju Halim, tempat beberapa perwira, termasuk Letkol Untung, sudah berada.
Di sana, Soekarno tidak marah, tapi juga tidak mendukung. Ia tampak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Di sisi lain kota, Mayor Jenderal Suharto mulai menggerakkan pasukan dari markas Kostrad.
Ia bukan target penculikan, tapi tahu ia kini punya kesempatan yang jarang muncul dalam sejarah: mengambil kendali situasi.
Ben Anderson dan McVey menggambarkan saat itu sebagai duel dua “pusat kekuasaan spontan” Halim dan Kostrad, tanpa ada yang benar-benar tahu siapa sedang berkuasa.
Pengumuman yang Tak Dipahami
Pagi 1 Oktober, pukul 07.00, siaran Radio Republik Indonesia menyiarkan pengumuman dari kelompok yang menyebut diri mereka “Gerakan 30 September.”
Mereka menyatakan telah “mengamankan beberapa jenderal anggota Dewan Jenderal” dan membentuk Dewan Revolusi Indonesia. Namun, Ben Anderson dan McVey menilai siaran itu aneh dan kontradiktif.
Bahasanya bercampur antara jargon revolusi ala Soekarno dan nada pengambilalihan kekuasaan militer. Yang lebih membingungkan, daftar anggota Dewan Revolusi berisi nama-nama acak, dari tokoh PKI hingga jenderal dan pejabat sipil yang tidak punya hubungan satu sama lain.
“Tidak ada organisasi politik yang mungkin menyusun daftar seabsurd itu,” tulis laporan itu. “Yang ada hanyalah tanda-tanda kepanikan.”
Dalam waktu kurang dari 24 jam, Suharto menguasai situasi. Ia merebut RRI, mengambil alih komando, dan menyatakan bahwa “Gerakan 30 September” adalah pemberontakan PKI.
Pasukan dari Halim tercerai-berai, sebagian menyerah tanpa perlawanan. Ben Anderson dan McVey menulis bahwa kecepatan keruntuhan gerakan itu tidak masuk akal jika benar PKI yang merencanakannya selama berbulan-bulan.
Tidak ada konsolidasi, tidak ada perlawanan, tidak ada strategi bertahan. “Gerakan sebesar itu,” tulis mereka, “tidak mungkin lenyap begitu saja kecuali memang tidak pernah direncanakan dengan matang.”
Malam 30 September hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dalam hitungan hari, peristiwa yang penuh kebingungan itu diubah menjadi mitos nasional.
Negara mengisinya dengan simbol, darah, dan kebencian; rakyat dipaksa percaya bahwa itu adalah kisah antara pahlawan dan pengkhianat.
Namun Cornell Paper menulis dingin: “Yang terjadi pada malam itu bukanlah kisah konspirasi besar, melainkan kekacauan yang segera diambil alih oleh mereka yang paling siap menulis versinya.”
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

