Jakarta – Indonesia saat itu, tahun 1965, bukan sekadar negara muda; ia adalah laboratorium ideologi yang meledak dari dalam. Presiden Soekarno sedang memainkan permainan paling berbahaya dalam hidupnya: menyeimbangkan kekuatan antara militer, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dirinya sendiri (nasionalis).
Benedict Anderson dan Ruth McVey, dalam Cornell Paper, menulis bahwa menjelang malam 30 September 1965, Indonesia sudah seperti dinamit yang tinggal menunggu percikan.
Demokrasi Terpimpin: Kekuasaan yang Penuh Ketakutan
Setelah membubarkan sistem multipartai parlementer pada akhir 1950-an, Soekarno membentuk konsep Demokrasi Terpimpin. Tujuannya mulia di atas kertas, menghindari kekacauan politik, tapi dalam praktiknya, kekuasaan terkonsentrasi di tangannya sendiri.
PKI, dengan jutaan anggota dan organisasi massa yang disiplin, menjadi sekutu ideologis utama Soekarno. Sementara militer, yang merasa dirinya sebagai penyelamat revolusi, diam-diam muak melihat bagaimana kaum komunis makin berani dan semakin dekat ke istana.
Dalam Cornell Paper, Anderson dan McVey menggambarkan suasana ini sebagai perang dingin domestik, di mana setiap pihak menunggu pihak lain membuat kesalahan duluan.
PKI: Kekuatan yang Membuat Takut Semua Orang
PKI pada awal 1960-an adalah partai komunis terbesar di luar Tiongkok dan Uni Soviet, dengan anggota yang menembus angka tiga juta, belum termasuk organisasi sayapnya. Mereka aktif di desa, pabrik, universitas, dan media.
Bagi banyak rakyat miskin, PKI memberi harapan; bagi militer, PKI adalah ancaman yang nyata. Para jenderal, terutama dari Angkatan Darat, mencurigai PKI sedang mempersiapkan kudeta, apalagi setelah muncul isu “Angkatan Kelima”, gagasan Soekarno dan PKI untuk mempersenjatai buruh dan tani.
Anderson dan McVey menulis: “Kekuatan PKI tidak hanya pada jumlah, tetapi pada keyakinan bahwa mereka adalah bagian dari sejarah yang sedang dimenangkan.”
Keyakinan itu justru membuat mereka buta terhadap bahaya yang sedang disusun oleh pihak lain.
Militer: Kekuatan yang Menunggu Kesempatan
Militer, terutama Angkatan Darat, berada dalam posisi ganjil. Mereka tahu Soekarno tidak bisa digulingkan secara terbuka, tapi juga tidak ingin dikendalikan oleh PKI.
Beberapa jenderal, termasuk Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution, sudah lama berkonflik dengan para perwira muda di tubuh tentara sendiri, yang lebih loyal kepada Soekarno.
Anderson dan McVey menyebut ketegangan internal militer ini sebagai “perpecahan generasi dalam bayang revolusi.” Yang muda merasa revolusi belum selesai, yang tua merasa sudah saatnya menstabilkan negara.
Dari sinilah muncul perwira-perwira seperti Letkol Untung, yang kemudian menjadi tokoh utama dalam peristiwa 30 September.
Soekarno melihat dirinya sebagai penengah dan “bapak bangsa,” tapi pada 1965 ia sebenarnya terjebak dalam jaring kekuasaannya sendiri. Kesehatannya menurun, pengaruhnya mulai dipertanyakan, dan ia tidak lagi punya kontrol penuh atas militer maupun partai.
Bagi Anderson & McVey, inilah tragedi Soekarno: ia menciptakan sistem yang terlalu bergantung pada dirinya, tapi ketika ia mulai melemah, sistem itu runtuh ke arah yang paling brutal.
“Soekarno berusaha menulis simfoni ideologi,” tulis Cornell Paper, “tapi orkestra yang ia pimpin saling menembak sebelum lagu selesai.”
Pada akhir September 1965, seluruh unsur untuk krisis besar sudah lengkap: Militer yang terpecah dan curiga. PKI yang terlalu percaya diri. Presiden yang kehilangan kendali. Ekonomi yang memburuk dan rakyat yang gelisah.
Anderson & McVey menulis bahwa peristiwa 30 September bukanlah kejutan, melainkan konsekuensi dari sistem yang sudah terlalu lama hidup dalam ketegangan. Kudeta hanyalah cara sejarah memutus simpul yang tidak bisa lagi dikendurkan.
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

