Dalam dunia fashion vintage, ada dua kemeja yang selalu muncul dalam trend yakni, kemeja linen dan kemeja flannel. Keduanya sama-sama klasik, sama-sama punya penggemar setia, namun lahir dari latar sejarah yang jauh berbeda.
Linen tumbuh dalam lingkungan aristokrat, sementara flannel muncul dari kultur kerja keras para buruh. Perbedaan asal-usul inilah yang kemudian membentuk citra sosial yang melekat hingga hari ini.
Kemeja linen sejak dulu digunakan oleh kalangan berada. Bahannya berasal dari serat rami yang proses pengolahannya tidak sederhana, sehingga harga linen cenderung lebih tinggi.
Dari bangsa Mesir kuno hingga aristokrasi Eropa, linen selalu hadir di ruang-ruang elite. Maka ketika di era modern banyak pekerja profesional memakai linen untuk tampil rapi dan berkelas, itu bukan kebetulan.
Linen sering menjadi pilihan mereka yang ingin memberi kesan stabil, elegan serta punya jalur karier yang jelas. Tidak jarang, orang mengenakan linen sebagai simbol pencapaian kecil dalam hidupnya. Karena itu, wajar jika citra borjuis pelan-pelan melekat pada bahan ini.
Berbeda dengan linen, flannel berakar dari kelas pekerja. Ia pertama kali populer di wilayah Wales dan Skotlandia, dipakai oleh buruh tambang, petani serta pekerja pabrik. Bahannya hangat, lembut, tahan lama sehingga cocok menemani mereka yang bekerja di cuaca ekstrem.
Ketika kemudian flannel masuk ke budaya pop, menjadi bagian dari gerakan grunge hingga seragam tidak resmi para aktivis kampus, ia mempertahankan karakter dasarnya sederhana dan melekat.
Banyak orang mencintai flannel bukan karena mahal, tetapi karena ia punya kejujuran dalam teksturnya. Bahkan hari ini, flannel paling sering ditemukan di pasar pre-loved bukan di etalase mahal yang dingin penuh wangi parfum.
Fenomena itu menciptakan jarak sosial yang unik. Linen identik dengan mereka yang ingin terlihat profesional dan berkelas, sementara flannel dekat dengan para pekerja lapangan, mahasiswa, teknisi bahkan aktivis yang lebih nyaman dengan barang-barang yang memiliki cerita.
Meski flannel juga diproduksi oleh brand besar, kenyamanannya justru lebih terasa ketika sudah dipakai sebelumnya, ketika warnanya mulai pudar dan bahannya semakin lembut. Sementara linen lebih dikenal sebagai pakaian yang harus baru, harus rapi serta selalu harus tampil bersih.
Tidak heran jika banyak orang bercanda bahwa linen adalah simbol borjuis, sedangkan flannel adalah lambang proletar. Candaan itu terasa lucu, tetapi ada sedikit kebenaran yang tak bisa dihindari. Linen membawa aura formalitas kota besar dan ruangan ber-AC, sedangkan flannel membawa aroma kopi hitam, ruang diskusi sempit serta malam panjang penuh obrolan sosial.
Namun dalam dunia vintage, keduanya justru saling melengkapi. Linen menawarkan ketenangan, kesederhanaan yang berkelas sekaligus estetika minimalis.
Flannel menawarkan kehangatan, kebebasan serta romantika perjuangan yang melekat pada tiap seratnya. Keduanya bukan rival, melainkan dua cara berbeda untuk memahami bagaimana pakaian bisa mewakili identitas manusia.
Memilih linen atau flannel bukan soal siapa yang lebih keren. Ini tentang cerita yang kamu bawa, miskin atau kaya, borjuis atau proletar, formal atau liar semuanya kembali pada bagaimana kamu memaknai pakaian itu. Setiap kemeja punya sejarah, dan setiap pilihan punya alasan. Yang membuatnya vintage bukan bahannya, tapi perjalanan yang menempel di dalamnya.

