Artikel Opini
Beranda » Menulis ulang Indonesia soal Tragedi 1965: Antara kebenaran, keadilan, dan ingatan kolektif

Menulis ulang Indonesia soal Tragedi 1965: Antara kebenaran, keadilan, dan ingatan kolektif

Suharto. (Foto: YPKP 1965)

Jakarta – Sejarah Indonesia penuh dengan parade kemenangan: kemerdekaan, pembangunan, reformasi. Tapi di antara semua itu, ada satu bab yang masih disegel rapat: pembunuhan massal 1965.

Negara menulis tentang pahlawan, tapi tidak tentang korban; merayakan kemerdekaan, tapi lupa siapa yang dikorbankan untuk menegakkannya. Kini, hampir enam dekade kemudian, satu hal menjadi jelas, bangsa ini tidak akan benar-benar dewasa sebelum berani membaca bab yang paling kelam dari dirinya sendiri.

“Negara ini sudah lama merdeka dari penjajahan,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “tapi belum merdeka dari kebohongannya sendiri.”

Pesanggrahan Bakung, bangunan bersejarah Operasi Trisula yang masih berdiri di Blitar Selatan

Bangsa tidak bisa dibangun dari mitos, hanya dari keberanian menghadapi kenyataan. Kebenaran tentang 1965 bukan sekadar sejarah masa lalu; ia adalah cermin untuk memahami bagaimana kekuasaan bekerja, bagaimana manusia bisa dikorbankan atas nama ideologi, dan bagaimana kebohongan bisa menjadi kebijakan.

Selama kebenaran itu belum diakui, bangsa ini tetap berdiri di atas fondasi rapuh, karena yang dibangun di atas penghapusan nyawa dan ingatan, cepat atau lambat, akan retak.

Keadilan bukan hanya urusan pengadilan, tapi juga urusan nurani. Ia berarti mengembalikan martabat orang-orang yang dirampas, menulis ulang nama mereka dalam sejarah nasional, dan mengakui bahwa yang terjadi bukan “tragedi,” melainkan kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri. Keadilan bukan dendam.

Setelah diam panjang, apa yang bisa diperbuat negara sekarang soal Tragedi 1965?

Ia adalah cara bangsa ini memastikan bahwa negara tidak akan lagi punya hak untuk membunuh atas nama kebenaran tunggal. “Negara yang tidak menegakkan keadilan masa lalunya akan mengulanginya di masa depan,” tulis laporan itu.

Ingatan adalah bentuk perlawanan paling tenang tapi paling berbahaya. Ia tidak bisa dibungkam, tidak bisa disensor, dan tidak bisa dipenjara. Selama ada orang yang masih mengingat, kekuasaan tidak akan pernah bisa menulis sejarah sendirian.

Dari kampus hingga kampung, dari film hingga mural di dinding kota, ingatan tentang 1965 mulai tumbuh kembali, bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran. Dan mungkin di situlah titik paling jujur dari bangsa ini: ketika rakyatnya yang menulis ulang sejarah yang pernah dihapus oleh negaranya sendiri.

Mereka yang bertahan soal Tragedi 1965: Kisah para penyintas dan arti hidup setelah kekerasan

Generasi muda yang lahir jauh setelah 1965 tidak punya beban masa lalu, tapi mereka punya tanggung jawab masa depan. Mereka tidak mewarisi rasa takut, tapi mewarisi tugas: menulis ulang Indonesia tanpa kebohongan.

Mereka punya teknologi, arsip digital, dan ruang bebas yang dulu tak dimiliki generasi korban. Tapi mereka juga hidup di tengah banjir disinformasi, propaganda baru yang terus mencoba mengulang ketakutan lama.

Pertanyaannya kini bukan lagi siapa pelaku 1965, tapi apakah generasi sekarang mau tetap diam seperti negara, atau memilih berpihak pada kebenaran.

Antara pengakuan dan penyangkalan: Sikap negara di era Reformasi, dari Habibie hingga Jokowi soal Tragedi 1965

Menolak lupa sering diejek sebagai gerakan masa lalu, tapi sesungguhnya itulah bentuk paling modern dari kemanusiaan: kemampuan untuk belajar dari kesalahan. Bangsa yang takut mengingat tidak akan pernah bisa maju, ia hanya akan berputar di lingkaran kebohongan yang sama.

“Kita tidak menulis sejarah untuk menghidupkan masa lalu,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “tetapi untuk memastikan masa depan tidak dibangun di atas kematian yang sama.”

Akhir yang Belum Usai

Tragedi 1965 mungkin tidak akan pernah “selesai.” Bukan karena tidak bisa diselesaikan, tapi karena negara memilih tidak menutupnya. Namun kebenaran tidak butuh izin untuk hidup. Ia akan terus muncul, di arsip, di cerita, di puisi, di tanah yang pelan-pelan bicara.

Yang disebut akhir dalam sejarah bukan berarti penutupan, melainkan kesediaan untuk mengingat dengan jujur. Dan selama itu belum terjadi, bangsa ini masih dalam proses belajar menjadi manusia.

Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

×