Artikel Opini

Terpejam untuk Melihat: Dokumenter Mahatma Putra tentang politik, lingkungan, dan kesadaran kolektif

Cover film: Terpejam Untuk Melihat (2024)

Setelah menghadirkan Diam dan Dengarkan (2020) serta Atas Nama Daun (2022), sutradara Mahatma Putra kembali lewat film dokumenter panjang berjudul Terpejam untuk Melihat (2024).

Dirilis gratis melalui kanal YouTube Anatman Pictures, film berdurasi 1 jam 17 menit ini mengangkat isu politik di Indonesia, namun berujung pada pesan yang sama dengan karya-karya sebelumnya: pentingnya kesadaran lingkungan.

Pesantren Ath-Thaariq dan Omah Lor: Pendidikan dan Alam

Bagian pertama memperkenalkan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut. Pesantren ini tak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga keterampilan bercocok tanam, beternak, dan hidup selaras dengan alam. Pengasuhnya, Nissa Wargadipura, menegaskan pentingnya Hablum Minal Alam sebagai bagian dari ajaran Islam.

Warung Nasi Pecel Bariyem di Blitar, katanya biasa buat bolos sekolah

Sejalan dengan itu, Omah Lor di Yogyakarta menekankan filosofi “slow living”. Dwi Pertiwi, pemiliknya, menilai bahwa manusia sejatinya miniatur alam. Menyakiti alam sama artinya dengan merusak diri sendiri.

Media, Politik, dan Suara Terpinggirkan

Film kemudian beralih pada persoalan akses informasi dan media. Jurnalis Joan Rumengan menyebut informasi adalah privilese, sebab tak semua orang memiliki akses yang sama. Evi Mariani dari Project Multatuli menyoroti media arus utama yang terjebak kapitalisme dan oligarki, sehingga publik makin apolitis.

Isu keterpinggiran juga muncul lewat kisah Mama Atha, aktivis transpuan di Kampung Duri. Ia menuntut kesetaraan hak politik dan pekerjaan bagi komunitas transpuan yang kerap dijadikan komoditas isu menjelang pemilu.

Mengenal Prolegda, mengapa ini juga penting diperhatikan?

Hak Difabel dan Politik yang Mahal

Kisah lain datang dari Anggiasari, perempuan penyandang disabilitas yang memilih masuk ke sistem politik demi mengawal kebijakan untuk kaum difabel. Namun politik yang mahal, seperti diungkap Frans Magnis Suseno, masih menjadi penghalang besar. Biaya pencalonan yang mencapai miliaran rupiah menjadikan politik dikuasai oligarki dan memperlebar kesenjangan sosial.

Keluar dari Sistem: Hidup Merdeka ala Maharlika

Film juga menampilkan Maharlika, mantan pekerja kantoran yang memilih meninggalkan kehidupan modern dan hidup tanpa uang. Dengan menggantungkan hidup pada alam, ia menunjukkan bahwa kemerdekaan tak melulu diukur dengan materi, melainkan kesadaran untuk melawan arus sistem yang mapan.

Kesadaran Kolektif dan Gerakan Kecil

Bagian akhir film memperlihatkan gerakan-gerakan kecil yang berdampak besar: Gede Robi (Navicula) yang mengajak melawan krisis iklim mulai dari hal sederhana, Kopernik dengan teknologi tepat guna untuk desa terpencil, permainan Emisi karya Mahawira Dillon yang mengedukasi soal karbon, hingga usaha ramah lingkungan Laut Tentrem dan Bank Sampah Bali Bersih.

Wali Kota Blitar dampingi Menteri Kebudayaan ziarah ke Makam Bung Karno

Refleksi dan Penutup

Lewat narasi yang mengalir, Terpejam untuk Melihat mengajak penonton merenung: apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup, dan bagaimana sikap kita terhadap alam serta sesama. Film ditutup dengan seruan sederhana namun kuat: bergerak bersama, dengan cara masing-masing, mulai dari sekarang.

×