Hampir enam dekade sudah berlalu sejak tragedi 1965 mengguncang negeri ini. Tapi suara mereka yang kehilangan keluarga, pekerjaan, dan hidup normal masih terasa sayup di banyak penjuru Indonesia.
Peristiwa itu bukan sekadar “bab sejarah” yang tertulis di buku pelajaran, melainkan luka terbuka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Semua bermula dari malam 30 September 1965, ketika tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh.
Pemerintah Orde Baru yang kemudian lahir di bawah kendali Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di baliknya.
Tuduhan itu jadi dalih untuk operasi besar-besaran: penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, hingga penghilangan orang-orang yang dianggap “terlibat” atau sekadar dicurigai bersimpati.
Sejak itu, gelombang kekerasan menyapu banyak daerah. Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera, semuanya jadi saksi bisu pembantaian massal dan penahanan tanpa proses hukum.
Angka pasti korban tak pernah benar-benar diketahui. Ada yang menyebut ratusan ribu, ada pula yang memperkirakan mencapai satu juta jiwa. Yang pasti, negara tidak pernah benar-benar mengakui tragedi itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Tragedi ini tak berhenti di situ. Mereka yang selamat hidup dengan cap “eks-tapol”—bekas tahanan politik, yang membatasi akses terhadap pekerjaan, pendidikan, bahkan hak memilih dalam pemilu.
Anak-anak mereka ikut menanggung stigma, seakan dosa orang tua diwariskan turun-temurun. Sementara pelaku dan kebijakan yang memungkinkan kekerasan itu berlangsung dibiarkan melenggang tanpa pertanggungjawaban.
KontraS, bersama berbagai lembaga masyarakat sipil, mencoba memecah kebisuan itu lewat pendokumentasian dan penelitian.
Tujuannya sederhana tapi berat: menyusun potongan-potongan kisah yang selama ini tercerai-berai, membangun ingatan kolektif agar sejarah tak terus disembunyikan di balik propaganda.
Sebab seperti kata Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Mengakui luka masa lalu memang tak membuat penderitaan lenyap, tapi diam hanya memperpanjang ketidakadilan.
Tragedi 1965 seharusnya jadi pengingat bahwa kekuasaan tanpa kendali selalu berujung pada korban. Dan bangsa yang memilih lupa pada sejarah kelamnya, tak pernah benar-benar sembuh.
Sumber: KontraS – Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian

