Blitar – Di pertemuan jalur utama penghubung Blitar–Kediri–Tulungagung, terdapat sebuah monumen bersejarah yang menyimpan kisah kelam dari masa lalu. Monumen itu dikenal dengan nama Tugu Rante, berlokasi di Desa Bendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
Sekilas, tugu ini terlihat hanya sebagai penanda batas antara Kota dan Kabupaten Blitar. Namun, lebih dari itu, Tugu Rante menjadi saksi bisu dahsyatnya letusan Gunung Kelud pada tahun 1919, bencana besar yang menewaskan sedikitnya 5.160 orang.
Tempat berdirinya tugu dulunya adalah jurang dalam yang kemudian tertimbun banjir lahar Kelud. Bersamaan dengan material vulkanik, lahar tersebut juga membawa jasad korban yang akhirnya dikuburkan secara massal di lokasi ini.
Tidak hanya warga setempat, diyakini pula terdapat jenazah serdadu Belanda yang turut dimakamkan di sini. Dugaan itu diperkuat oleh adanya ukiran bertuliskan bahasa Belanda pada dinding tugu, yang menyebut sejumlah nama prajurit, antara lain:
- AMB. FUS. Mandojo (No. 98384)
- Kaligis (No. 96397)
- Soervoe (No. 98492)
- Mataheru (No. 74454)
- Korp. Ajal (No. 78968)
- INL. FUS. Kartoredjo alias Paino (No. 74905)
Tulisan tersebut menjadi penanda bahwa mereka gugur saat menjalankan tugas ketika letusan Kelud terjadi pada 19 Mei 1919.
Desa Bendo sendiri pada masa lalu dikenal sebagai kawasan perumahan Belanda, yang disebut Ngloji. Kompleks itu berada di barat lapangan desa, namun kini telah berubah menjadi permukiman warga.
Nama Tugu Rante merujuk pada bentuk fisiknya yang dikelilingi rantai besi besar, dengan tembok setinggi dua meter. Bangunan ini sudah beberapa kali dipugar hingga berbentuk seperti sekarang.
Kini, Tugu Rante dipandang sebagai monumen penghormatan bagi korban letusan Gunung Kelud 1919, baik warga pribumi maupun tentara Belanda. Pada sisi timur tugu sempat tercatat nama-nama korban, meski hanya enam orang prajurit batalyon yang diabadikan.