Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. dikenal sebagai tokoh pembaharu hukum Indonesia yang pemikirannya menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam penegakan hukum. Lahir di Kendal tahun 15 Februari 1930 – wafat 9 Januari 2010, beliau mengawali karier akademiknya pada 1961 sebagai dosen Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Kiprahnya semakin menonjol ketika menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UNDIP pada 1971-1976 dan Kepala Pusat Studi Hukum dan Masyarakat pada 1976-1978. Di luar kampus, Satjipto turut berperan penting dalam pembinaan hukum nasional melalui berbagai jabatan strategis seperti Kepala Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional pada 1978, staf ahli Kapolri pada 1983, anggota Komnas HAM periode 1993-1997 dan 1998-2002, serta Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP pada 1996-2001.
Sebagai akademisi, Satjipto dikenal karena pemikiran yang kritis terhadap sistem hukum yang kaku. Ia menolak pandangan hukum yang terjebak pada formalitas dan mendorong agar hukum dijalankan berdasarkan nilai moral dan kepentingan manusia. Dari gagasan itu lahirlah Teori Hukum Progresif, konsep yang menempatkan manusia sebagai pusat hukum sekaligus menegaskan bahwa hukum harus terus berkembang seiring perubahan sosial.
Lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi hukum nasional, Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo hadir sebagai respons terhadap stagnasi penegakan hukum di Indonesia. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, bangsa ini memasuki masa Reformasi yang diharapkan membawa pembaruan dalam berbagai sektor, termasuk bidang hukum.
Namun kenyataan memperlihatkan bahwa cita-cita tersebut belum tercapai. Hukum belum mampu menghadirkan keadilan yang nyata, bahkan sering menimbulkan kekecewaan publik terutama dalam upaya pemberantasan korupsi.
Satjipto melihat bahwa akar dari kemunduran hukum terletak pada hilangnya kejujuran, empati serta dedikasi di kalangan penegak hukum. Nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi jiwa hukum berubah menjadi sesuatu yang langka. Dari keprihatinan itulah lahir gagasan besar untuk menata ulang paradigma hukum melalui pendekatan yang lebih progresif. Ia mengusulkan perubahan mendasar terhadap cara pandang hukum agar tidak sekadar menjadi alat kekuasaan, tetapi menjadi sarana pembebasan dan transformasi sosial.
Hukum Progresif berangkat dari prinsip bahwa hukum diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Dalam pandangan ini, manusia ditempatkan sebagai pusat orientasi hukum. Ketika terjadi persoalan hukum yang perlu dikaji adalah sistem hukumnya, bukan memaksa manusia tunduk pada struktur yang kaku. Hukum harus menjadi ruang yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar teks normatif tanpa jiwa.
Satjipto kemudian merumuskan sembilan pokok pikiran yang menjadi fondasi utama teori ini. Pertama, hukum progresif menolak pandangan analytical jurisprudence yang cenderung positivistik. Teori ini lebih dekat dengan aliran legal realism, sociological jurisprudence serta critical legal studies yang menekankan dimensi sosial dan moral hukum.
Kedua, hukum tidak semata berfungsi melalui institusi kenegaraan. Ketertiban sosial bisa tumbuh dari kesadaran kolektif masyarakat. Ketiga, hukum progresif mengutamakan perlindungan rakyat sebagai jalan menuju cita keadilan substantif.
Selain itu, hukum progresif menolak status quo yang menjadikan hukum sebagai teknologi tanpa nurani. Hukum dipandang sebagai lembaga bermoral yang mengantarkan manusia menuju kehidupan adil, sejahtera serta bahagia. Dalam konteks ini, hukum progresif berpihak pada rakyat, berpihak pada keadilan serta berani menentang kekuasaan yang menindas.
Asumsi dasarnya tetap sama yaitu, hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang lebih besar. Setiap kali hukum menimbulkan persoalan, maka yang harus dibenahi adalah sistem hukumnya. Manusia tidak boleh dipaksa menyesuaikan diri pada mekanisme hukum yang kehilangan nilai kemanusiaan. Dengan demikian, hukum tidak bersifat absolut ataupun final. Teori ini sangat bergantung pada cara manusia menafsirkan dan menggunakannya.
Bagi Satjipto Rahardjo, hukum sejati selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Law as a process atau law in the making mencerminkan pandangan bahwa hukum adalah entitas hidup yang berkembang seiring dinamika masyarakat.
Satjipto Rahardjo memandang hukum progresif sebagai sistem hukum yang hidup, tumbuh serta mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Dalam pandangan ini, hukum tidak berhenti pada teks, melainkan terus berproses mengikuti dinamika sosial dan politik yang membentuknya. Perubahan yang terjadi di masyarakat memiliki hubungan erat dengan habitat hukum itu sendiri.
Ketika abad ke-19 melahirkan konsep negara modern, hukum pun mengalami pergeseran landasan karena negara menjadi ruang fisik yang menentukan arah pembentukan hukum. Setiap konsep, prinsip serta doktrin yang telah mapan perlu ditinjau ulang agar tetap relevan. Melalui proses inilah hukum menjadi disiplin ilmu yang senantiasa bergerak menuju pembentukan diri yang lebih matang, sehingga keberadaannya memberi manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.
Hukum progresif tidak hanya hadir sebagai teori, tetapi juga sebagai tahapan evolusi dalam sistem hukum nasional. Satjipto menilai bahwa pembaruan hukum harus berfungsi menata kembali kondisi sosial dan memperkuat tatanan bernegara. Pendekatan ini diharapkan mampu menjawab kompleksitas persoalan bangsa dengan cara yang lebih adaptif. Hukum progresif menghadirkan kompetensi kelembagaan yang lebih besar untuk mencapai keadilan, meskipun Satjipto tidak mengklaim konsep ini sebagai bentuk terbaik dari sistem hukum. Ia justru membuka ruang bagi inovasi dari para ahli hukum agar teori ini terus berkembang dan menjadi sarana perbaikan terhadap kondisi hukum di Indonesia yang masih memerlukan pembaruan mendasar.
Inti dari gagasan hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai pusat utama dari seluruh sistem hukum. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum tidak boleh menjauh dari perilaku manusia yang menjadi subjeknya.
Oleh karena itu, pemikiran hukum progresif menekankan keterpaduan antara peraturan yang berlaku dan perilaku para penegak hukum di tengah masyarakat. Konsep ini melahirkan cara pandang holistik terhadap persoalan hukum, di mana keadilan tidak hanya diukur dari teks normatif tetapi juga dari kenyataan sosial yang bersifat empiris. Dengan pemahaman tersebut, hukum progresif diharapkan mampu menjawab problem kemanusiaan secara utuh serta mengarahkan praktik berhukum menuju keadilan substantif.
Dalam kerangka berpikir semacam itu, hukum akan senantiasa bergerak mengikuti dinamika kehidupan manusia. Perubahan menjadi keniscayaan yang mempengaruhi pola berhukum, sehingga praktik hukum tidak boleh terjebak pada kepastian yang kaku. Hukum progresif menolak pandangan bahwa hukum merupakan sistem final. Ketika hukum dianggap selesai dan mutlak, hukum sendiri kehilangan sifat solutifnya.
Pada titik itu, manusia dipaksa menyesuaikan diri terhadap teks, bukan hukum yang beradaptasi terhadap kebutuhan manusia. Pemikiran Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa hukum yang hidup adalah hukum yang terus berubah seiring perubahan masyarakat, sebab keadilan sejati hanya dapat tercapai ketika hukum berjalan bersama kemanusiaan. (Blt)


 
                     
             
             
             
             
             
             
             
             
             
            