Artikel
Beranda » Isi Perjanjian Hudaibiyah yang berlangsung pada zaman Rasulullah

Isi Perjanjian Hudaibiyah yang berlangsung pada zaman Rasulullah

Ilustrasi Perjanjian Hudaibiyah. (Foto: Ilustrasi Internet)

Tahun keenam setelah hijrah, Nabi Muhammad SAW bermimpi sedang melaksanakan umrah di Mekah. Bagi beliau, mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu isyarat.

Maka beliau mengajak sekitar 1.400 sahabat berangkat ke Mekah, tanpa senjata perang, hanya membawa niat ibadah. Masalahnya, Quraisy tidak melihatnya seperti itu.

Perjalanan yang Sejak Awal Sudah Tegang

Cornell Paper: Sebuah dokumen yang bahas 1965 dan mengguncang dunia akademik

Ketika rombongan Nabi mendekati Mekah, Quraisy langsung curiga. Bagi mereka, ini bukan rombongan ibadah, tapi potensi ancaman. Pasukan Quraisy dikirim untuk menghalangi jalan.

Nabi tidak memaksa masuk kota. Beliau memilih berhenti di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, agak jauh dari Mekah. Keputusan ini penting: Nabi ingin menunjukkan bahwa ia tidak datang untuk perang.

Tapi ketegangan tetap ada. Sahabat-sahabat mulai gelisah. Mereka sudah jauh-jauh datang, tapi malah tertahan di luar kota.

Perang Khandaq, ketika Madinah bertahan dari ketakutan yang datang dari semua arah

Utusan Quraisy datang silih berganti. Akhirnya disepakati sebuah perjanjian. Isinya, kalau dibaca sekilas, terasa tidak adil untuk umat Islam:

  • Kaum Muslim tidak boleh masuk Mekah tahun itu
  • Baru boleh umrah tahun depan
  • Jika ada orang Mekah masuk Islam lalu ke Madinah, harus dikembalikan
  • Tapi jika ada orang Madinah kembali ke Mekah, Quraisy tidak wajib mengembalikan

Banyak sahabat kecewa. Sangat kecewa. Umar bin Khattab bahkan bertanya langsung kepada Nabi, “Bukankah kita di pihak yang benar?” Nabi menjawab singkat, tenang, dan tanpa emosi: “Aku adalah utusan Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”

Saat penulisan perjanjian, Quraisy menolak kata “Rasulullah” dalam dokumen. Mereka hanya mau menulis “Muhammad bin Abdullah”. Bagi sebagian sahabat, ini terasa seperti penghinaan. Tapi Nabi mengizinkan.

Perang Uhud jadi kemenangan yang berbalik karena lupa pada disiplin

Bukan karena ragu, tapi karena beliau tahu mana yang prinsip, mana yang simbol.

Hari itu, Nabi juga memerintahkan para sahabat menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut, tanda ibadah selesai.

Banyak yang terdiam. Bukan membangkang, tapi kecewa dan bingung. Nabi masuk ke tenda, berbicara dengan Ummu Salamah. Ia menyarankan agar Nabi memulai sendiri.

Perang Badar ketika kuantitas bukan sebuah jaminan untuk memenangkan pertarungan dalam zaman Nabi Muhammad

Dan benar, ketika Nabi melakukannya, para sahabat mengikuti perlahan, dengan mata basah.

Sekilas, Hudaibiyah tampak seperti kekalahan. Tapi waktu membuktikan sebaliknya.

Setelah perjanjian:

  • Tidak ada perang besar selama dua tahun
  • Dakwah Islam menyebar lebih luas
  • Orang-orang bisa berpikir tanpa tekanan perang
  • Jumlah orang masuk Islam melonjak tajam

Bahkan Al-Qur’an menyebut peristiwa ini sebagai “kemenangan yang nyata”. Bukan karena wilayah direbut, tapi karena ruang damai dibuka. Quraisy tanpa sadar mengakui Nabi sebagai pihak sah yang setara. Itu pukulan psikologis yang besar.

Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

×