Blitar – Dalam diskusi tersebut, Dandhy Laksono menyoroti persoalan ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dan bahan baku strategis.
Ia mencontohkan situasi krisis pangan saat pandemi Covid-19, ketika sejumlah negara produsen memilih mengamankan kebutuhan dalam negerinya.
“Dari India, dari Thailand, waktu pandemi kemarin kita benar-benar krisis. Thailand, Vietnam, dan India tidak mau mengekspor beras karena mereka juga butuh keamanan pangan,” kata Dandhy saat diskusi buku di Blitar, Selasa, 23 Desember 2025.
Ia juga menyinggung komoditas kapas yang hingga kini masih sangat bergantung pada impor. Menurutnya, hampir seluruh kebutuhan kapas nasional berasal dari luar negeri.
“Yang kita pakai sehari-hari bahannya kapas, sebagian sudah dicampur polyester. Tapi 99 persen kapas kita impor. Saya ulangi, 99 persen kapas kita impor,” ujarnya.
Dandhy mengkritik ironi penggunaan simbol padi dan kapas yang melekat di berbagai lambang negara dan institusi pemerintahan, sementara komoditas tersebut justru tidak sepenuhnya diproduksi di dalam negeri.
“Padi dan kapas itu ada di hampir semua lambang institusi negara, dari kelurahan, Karang Taruna, Polri, TNI, sampai stempel presiden. Tapi salah satu bahannya justru hampir seluruhnya impor. Kok bisa kita menganggap ini hal yang normal?” ungkapnya.
Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan persoalan struktural yang sudah lama dibiarkan dan diterima begitu saja oleh masyarakat.
Menurut Dandhy, ketergantungan impor pada sektor strategis seharusnya menjadi bahan refleksi serius dalam melihat arah kebijakan nasional. (ke/blt)

