Artikel Opini
Beranda » Warisan ketakutan dan upaya memulihkan keadilan setelah Tragedi 1965

Warisan ketakutan dan upaya memulihkan keadilan setelah Tragedi 1965

Dok. YPKP 1965

Jakarta – Lebih dari setengah abad berlalu sejak darah mengering di tanah Nusantara. Tapi bayang-bayang 1965 belum benar-benar pergi. Luka yang ditinggalkan tragedi itu tidak hanya di tubuh korban, tapi juga dalam ingatan kolektif bangsa yang dipaksa untuk diam.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut warisan utama dari tragedi 1965 adalah ketakutan yang dilembagakan. Ketakutan untuk bertanya, untuk membaca, untuk menulis, bahkan sekadar menyebut kata “PKI” di ruang publik.

Generasi yang lahir puluhan tahun setelah kejadian pun tumbuh di bawah warisan itu, mewarisi trauma tanpa pernah tahu kisah aslinya.

Diamnya negara dalam mengusut Tragedi 1965, penyelidikan yang tak pernah tuntas

Selama lebih dari tiga dekade, sejarah 1965 ditulis sepihak oleh negara. Buku pelajaran, film wajib tonton, dan monumen peringatan semuanya menegaskan satu narasi: PKI adalah pengkhianat bangsa, militer adalah penyelamat.

Akibatnya, generasi muda mengenal peristiwa itu hanya sebagai “kudeta komunis,” bukan tragedi kemanusiaan. Para penyintas tumbuh dalam stigma, anak-anak mereka dibungkam dengan peringatan: “Jangan bicara soal masa lalu.”

Komnas HAM menilai ini sebagai bentuk kekerasan kultural — penindasan melalui ingatan. “Kebohongan yang diulang selama puluhan tahun menjadi kebenaran sosial,” tulis laporan itu.

Jejak militer dan kejahatan terorganisir dalam Tragedi 1965

Hingga kini, ribuan penyintas masih hidup dalam kemiskinan dan diskriminasi. Mereka kehilangan pekerjaan, tak bisa mengurus dokumen, atau diabaikan dalam pelayanan publik.

Sebagian bahkan masih dipantau aparat desa setiap kali ada kegiatan sosial.

Meski Orde Baru telah tumbang, sistem pelabelan tetap hidup dalam bentuk baru di data kependudukan, di birokrasi, di bisik-bisik masyarakat.

Luka yang tak tercatat: Kekerasan seksual dan stigma sosial pasca Tragedi 1965

“Bagi kami, 1965 belum selesai,” ujar seorang penyintas di Blitar kepada tim Komnas HAM. “Kami bebas, tapi tidak merdeka.”

Dalam dua dekade terakhir, masyarakat sipil mulai mengisi ruang yang ditinggalkan negara. Lembaga seperti KontraS, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 65), dan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mendokumentasikan kisah para korban, mendirikan museum ingatan, dan menyelenggarakan diskusi publik.

Pendokumentasian ini bukan sekadar riset sejarah, tapi juga bentuk perlawanan terhadap lupa. Mereka mencatat nama-nama yang dihapus, merekam kesaksian orang-orang yang selama ini hanya disebut “bahaya laten.”

Gelombang pembunuhan pasca Tragedi 1965: Negara dan kekerasan sistematis

“Jika negara menolak menulis ulang sejarahnya, maka rakyat akan melakukannya sendiri,” tulis laporan Komnas HAM.

Pemerintah sempat berupaya membuka jalan pemulihan lewat Tim PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu) pada 2022.

Presiden Joko Widodo bahkan menyampaikan pernyataan resmi pada Januari 2023 yang mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965.

Namun bagi banyak korban, langkah itu masih jauh dari cukup. Mereka menilai permintaan maaf tanpa penegakan hukum hanyalah simbol tanpa makna.

“Kami tidak butuh belas kasihan,” kata seorang penyintas perempuan di Semarang. “Kami butuh kebenaran yang diakui, bukan disisihkan.”

Komnas HAM dalam kesimpulan laporannya menyatakan bahwa penyelesaian tragedi 1965 membutuhkan tiga hal: pengakuan resmi, penegakan hukum, dan pemulihan sosial. Tanpa itu, luka masa lalu akan terus mengalir ke masa depan.

Upaya keadilan transisional, melalui komisi kebenaran, pendidikan publik, dan pemulihan korban,  menjadi langkah minimal yang bisa dilakukan. Tapi langkah itu butuh keberanian politik yang sampai hari ini masih ditahan oleh rasa takut.

Tragedi 1965 adalah cermin paling jujur dari bagaimana kekuasaan bisa menghapus kemanusiaan dengan dalih ideologi.

Selama bangsa ini belum berani melihat bayangan sendiri di cermin itu, masa depan akan terus dihantui oleh yang belum diselesaikan.

Sumber: Dokumen Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

×