Jakarta – Amnesty International Indonesia menilai usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan langkah yang mencederai amanat reformasi dan melukai perasaan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
“Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Ia menambahkan, keluarga korban pelanggaran HAM hingga kini masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Menurut Usman, peranan Soeharto dalam kekerasan negara yang sistematis terhadap rakyat, pembredelan media, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tak bisa diabaikan.
“Mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional tanpa mempertimbangkan semua itu hanyalah upaya menghapus dosa-dosanya dan memutarbalikkan sejarah,” ujarnya.
Amnesty mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan usulan tersebut jika masih memiliki komitmen terhadap penegakan HAM.
Usman menilai, pemerintah seharusnya fokus menuntaskan berbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi selama masa Orde Baru.
Di antaranya peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh, penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996, penghilangan orang secara paksa 1997–1998, hingga kerusuhan Mei 1998 serta tragedi Trisakti dan Semanggi.
Sebelumnya, usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali muncul setelah Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025 memasukkan nama Soeharto dalam daftar calon penerima gelar. (blt)

