Jakarta – Dari Blitar sampai Buton, dari kuburan massal hingga ruang-ruang sunyi di rumah para penyintas, satu hal tetap sama: negara belum pernah benar-benar hadir. Tragedi 1965 bukan hanya catatan kelam masa lalu, tapi warisan luka yang masih hidup dalam tubuh bangsa ini.
Bertahun-tahun, para korban menunggu pengakuan dan keadilan. Tapi yang datang justru kebisuan birokrasi, tumpukan arsip yang tak dibuka, dan janji politik yang hilang begitu pemilu usai. “Negara ini cepat melupakan, tapi lambat belajar,” tulis laporan KontraS dalam kesimpulannya.
Anak-anak para korban tumbuh dengan beban nama keluarga. Di sekolah, di tempat kerja, bahkan di kantor kelurahan, label “anak eks-tapol” menempel seperti noda. Tak ada vonis pengadilan, tapi mereka dihukum oleh sistem sosial yang diciptakan oleh propaganda.
Kini sebagian dari mereka sudah menjadi orang tua. Tapi cerita pahit itu terus diturunkan, menjadi bagian dari identitas yang mereka tak pernah minta. “Kami lahir jauh setelah 1965, tapi rasa takut itu diwariskan,” kata seorang anak korban di Malang, dikutip dalam laporan KontraS.
Komnas HAM sudah menegaskan bahwa peristiwa 1965 memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Tapi Kejaksaan Agung tetap menolak melanjutkan ke penyidikan dengan alasan “kurangnya bukti baru.”
Kalimat yang sama terus diulang setiap tahun, seolah ratusan kesaksian korban bukan bukti, melainkan sekadar cerita.
Padahal di banyak negara, kebenaran dihadirkan bukan hanya lewat pengadilan. Ada yang menempuh jalan komisi kebenaran, ada yang memberi rehabilitasi simbolik, bahkan ada yang cukup dengan permintaan maaf resmi. Tapi Indonesia, entah kenapa, memilih cara paling dingin: diam.
Gerakan masyarakat sipil memilih untuk tidak ikut diam. Mereka membangun museum ingatan, menggelar diskusi, pameran foto, pemutaran film dokumenter, dan lokakarya bagi anak muda. Semuanya bertujuan sama: melawan lupa.
Pendokumentasian yang dilakukan KontraS, ICTJ, dan jaringan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) menjadi salah satu tonggak penting. Melalui data dan kesaksian, mereka menyusun ulang potongan sejarah yang selama puluhan tahun disembunyikan di bawah label “pengkhianatan negara”.
Kebenaran, bagi mereka, bukan sekadar urusan masa lalu, tapi fondasi moral untuk masa depan.
Negara dan Cermin Sejarah
Tragedi 1965 seharusnya menjadi cermin. Tentang bagaimana kekuasaan tanpa kontrol bisa berubah jadi mesin kekerasan, dan bagaimana propaganda bisa membuat rakyat saling menuduh. Tapi selama negara menolak bercermin, luka itu akan terus menganga.
Sebuah bangsa yang enggan mengakui kesalahannya, akan terus hidup dalam ketakutan pada bayangan sendiri.
KontraS menutup laporannya dengan pesan sederhana tapi keras: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Kutipan Milan Kundera itu bukan hiasan literer. Itu peringatan.
Selama negara tidak berani menatap sejarahnya sendiri, keadilan akan tetap tertahan di masa lalu. Dan bangsa ini, mau tidak mau, akan terus berjalan dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Sumber: KontraS – Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian

