Setelah melewati masa panjang penjajahan dari Spanyol, Amerika Serikat, dan pendudukan Jepang rakyat Filipina akhirnya meraih kemerdekaan secara resmi pada 4 Juli 1946. Amerika Serikat menepati janjinya dan Filipina dinyatakan sebagai negara berdaulat. Manuel Roxas diangkat sebagai presiden Republik Filipina.
Meski secara politik merdeka, Filipina masih memiliki ketergantungan ekonomi dan militer terhadap Amerika Serikat. Berbagai perjanjian, termasuk Bell Trade Act menunjukkan bagaimana pengaruh Amerika tetap kuat.
Dalam situasi ini, para pemimpin Filipina menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan hubungan luar negeri sambil berupaya membangun sistem dalam negeri yang mandiri dan demokratis.
Sepanjang dekade 1950-an dan awal 1960-an, Filipina mengalami pasang surut politik dan ekonomi. Sistem dua partai yang tumbuh memberi ruang bagi kontestasi politik namun juga memperlihatkan kelemahan dalam pemerintahan dan praktik korupsi yang merajalela.
Pada 1965, Filipina memasuki era baru ketika Ferdinand Marcos seorang politisi ambisius dari Partai Nacionalista, memenangkan pemilu dan mengalahkan presiden incumbent Diosdado Macapagal.
Awalnya, pemerintahan Marcos memberikan harapan. Ia menjanjikan pembangunan infrastruktur, stabilitas ekonomi serta reformasi hukum. Namun, di balik pencitraan pembangunan itu, Marcos secara perlahan mulai mengonsolidasikan kekuasaan.
Pada 1972, dengan dalih mengatasi ancaman komunisme dan kerusuhan sipil Marcos menerapkan darurat militer dan mengubah sistem menjadi rezim otoriter. Konstitusi diganti, lembaga-lembaga negara dibungkam dan kebebasan sipil ditiadakan.
Rezim Marcos menciptakan ilusi stabilitas, namun diwarnai dengan pelanggaran HAM, korupsi dan nepotisme. Ia memusatkan kekuasaan di tangannya dan memperbolehkan diri untuk terus berkuasa tanpa batas. Oposisi ditekan, media disensor dan aktivis ditangkap atau bahkan hilang. Rakyat Filipina mulai merasa dikhianati oleh pemimpin yang semula menjanjikan pembaruan.
Puncak krisis moral pemerintahan Marcos terjadi pada 1983, ketika Benigno “Ninoy” Aquino Jr., tokoh oposisi utama dan mantan senator dibunuh secara misterius sesaat setelah kembali dari pengasingan di Amerika Serikat.
Peristiwa ini mengguncang kesadaran nasional dan memicu gelombang besar ketidakpuasan publik terhadap rezim Marcos. Rakyat mulai turun ke jalan, serikat mahasiswa dan gereja memperkuat tekanan moral terhadap kekuasaan yang semakin tidak manusiawi.
Meski menghadapi gelombang ketidakpuasan, Marcos tetap mencalonkan diri pada pemilu 1986, dalam apa yang disebut sebagai “pemilu dadakan.” Pemilu ini diselimuti oleh berbagai kecurangan terbuka yang disaksikan dunia internasional.
Hasilnya yang penuh manipulasi justru memperbesar kemarahan rakyat. Kredibilitas Marcos makin hancur dan oposisi mulai menyatukan barisan di bawah figur Corazon Aquino, janda Ninoy.
Puncak dari krisis politik dan sosial Filipina terjadi dalam Revolusi EDSA (People Power Revolution) pada Februari 1986. Jutaan rakyat turun ke jalan di sepanjang Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), menuntut kejatuhan Marcos secara damai.
Revolusi ini menjadi simbol kekuatan rakyat sipil yang berhasil menggulingkan tirani tanpa pertumpahan darah. Dukungan dari militer yang berbalik arah mempercepat tumbangnya kekuasaan Marcos.
Akhirnya, Marcos dan keluarganya melarikan diri ke pengasingan di Hawai dan Corazon Aquino dilantik sebagai Presiden Filipina yang baru. Transisi ini menandai berakhirnya era kediktatoran dan kembalinya demokrasi konstitusional. Corazon Aquino memulai babak baru dalam sejarah politik Filipina.