Artikel Opini

Sejarah aktivitas PKI di Blitar: Kekalutan dan pembantaian massal – bagian 2

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Wilayah Blitar, terutama Blitar Selatan dikenal dengan hamparan tegalan dan perbukitan tandus, pada akhir 1960-an adalah medan sejarah paling kelam di Jawa Timur. Setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, situasi sosial di kawasan ini berubah drastis.

Warga yang mayoritas buta huruf dan hidup dari bertani tiba-tiba harus berhadapan dengan realitas politik nasional yang rumit. Masyarakat dihadapkan oleh sebuah pertarungan ideologi yang tidak mereka pahami, tetapi menelan banyak nyawa.

Sebelum peristiwa itu, Blitar dikenal sebagai salah satu daerah yang menjadi basis kuat Partai Komunis Indonesia (PKI). Di beberapa kecamatan seperti Bakung, Wonotirto, Panggungrejo serta Wates, organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, dan BTI (Barisan Tani Indonesia) berkembang pesat.

Hujan deras picu longsor di Gandusari Blitar, satu keluarga alami luka dan robohkan rumah

Ketua Gerwani Cabang Blitar, Putmuinah dikenal aktif menggerakkan kaum perempuan untuk kegiatan sosial dan pendidikan dasar. Kelak Putmuinah, juga diamankan dan menjalani pembuangan pasca peristiwa ini.

Kekacauan dimulai ketika pemerintah pusat memerintahkan penumpasan sisa-sisa kekuatan PKI yang disebut melakukan konsolidasi baru di Blitar Selatan. Wilayah perbukitan ini dijadikan sasaran operasi besar yang dikenal sebagai Operasi Trisula, dimulai secara resmi pada 1 Juni 1968.

Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Witarmin dari Kodam VIII/Brawijaya, dengan dukungan satuan infanteri dan pasukan udara. Targetnya adalah empat tokoh yang diyakini bersembunyi di hutan Blitar yakni Rewang, Oloan Hutapea, Ruslan Widjajasastra dan Munir yang dituduh membentuk kembali “PKI gaya baru”.

Balita usia 3 tahun di Blitar meninggal tersengat listrik dari gardu PLN, siapa yang bertanggung jawab?

Namun, bagi masyarakat sipil di lereng perbukitan operasi militer ini menjadi awal dari mimpi buruk. Tentara dan kelompok sipil seperti Banser dan Ansor digerakkan untuk menyisir rumah-rumah warga. Setiap orang yang pernah mengikuti rapat organisasi tani, punya kartu anggota serikat atau sekadar dikenal dekat dengan tokoh-tokoh PKI langsung dianggap musuh negara.

Dalam situasi penuh ketakutan, banyak warga yang bahkan menuduh tetangganya sendiri demi menyelamatkan diri dari kemungkinan dicap komunis.

Dalam tahap awal operasi penumpasan, sekitar 4.000 orang ditangkap di Blitar Selatan, sebagian besar tak pernah kembali ke rumah mereka. Tentara diterjunkan ke daerah-daerah seperti Bakung, Tambakrejo, Sutojayan serta daerah lainnya.

Perampokan pecah kaca di Blitar, uang Rp150 juta untuk bayar panen jagung raib

Di tengah suasana mencekam itu, pembunuhan massal kerap dilakukan dengan cara sadis seperti menggunakan parang, sabit atau kayu tajam. Sungai-sungai menjadi saksi bisu tubuh-tubuh yang hanyut tanpa nama. “Malam-malam kami mendengar jeritan di kejauhan dan tahu besok paginya siapa yang hilang”, tutur sebagian warga yang telah hidup pada masa itu.

Kisah kelam itu semakin menegaskan bahwa kekerasan kala itu bukan hanya dilakukan oleh aparat. Banyak warga yang secara sadar ikut serta membunuh agar tidak dicurigai. Satu nyawa melayang bisa menjadi “penebus” bagi orang lain yang takut dituduh anggota PKI.

Dalam pengakuan warga yang jadi saksi sejarah saat itu secara lisan menuturkan, bahkan ada keluarga yang saling berhadapan seorang kakak membunuh adiknya sendiri demi menunjukkan dia bukan simpatisan komunis serta menunjukkan yang terbunuh adalah simpatisan komunis. Pembantaian yang awalnya diarahkan pada “pembersihan ideologi” berubah menjadi histeria sosial yang tak terkendali.

East Java local guides gelar acara “Tanya Jawab Connect Bareng Moderator” secara online

Bupati Blitar saat itu, R. Soemarsono yang dikenal sebagai kader PKI menjadi salah satu korban amukan massa. Ia ditangkap dan dibunuh secara brutal oleh kelompok milisi sipil. Jasadnya tidak ditemukan hingga berminggu-minggu. Kejadian ini memperparah kepanikan warga. Tak ada lagi yang berani bicara tentang masa lalu atau organisasi yang pernah mereka ikuti kegiatannya.

Patung pada Monumen Trisula di Kecamatan Bakung yang menunjuk ke arah barat konon mengarah ke lokasi pembantaian terbesar. Banyak yang meyakini itu adalah daerah Dusun Kalijirak, Desa Sumberbendo, Kecamatan Puncanglaban, Kabupaten Tulungagung.

Seakan menegaskan operasi pembersihan telah sampai paling barat Blitar hingga perbatasan wilayah. Saksi-saksi lokal menyebut, di balik simbol kemenangan operasi itu tersimpan kisah ratusan warga dieksekusi tanpa proses yang jelas.

Yang paling tragis, sebagian besar korban bahkan tak memahami apa itu komunisme, marxisme atau ideologi yang mereka tuduh. Mayoritas penduduk Blitar, terutama Blitar Selatan pada 1960-an hidup dalam kondisi pendidikan rendah dengan sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis.

Mereka mengartikan “partai” hanya sebatas rapat tani atau kegiatan gotong royong. Tapi tuduhan “PKI” kala itu sudah cukup menjadi vonis mati tanpa pembelaan.

Operasi militer ini berakhir pada akhir 1968. Trauma begitu membekas di ingatan kolektif masyarakat. Banyak keluarga yang kehilangan anggota tanpa tahu di mana jasad mereka dikubur hingga sekarang. Di sebagian desa orang-orang memilih diam, berpura-pura lupa agar bisa terus hidup saat awal-awal operasi ini berakhir.

Kini, enam dekade kemudian luka itu tetap terasa di ruang-ruang sunyi perdesaan Blitar Selatan, meskipun mayoritas warga telah diam dan berdamai dengan keadaan selama puluhan tahun. Ingatan akan malam-malam berdarah itu masih sering diceritakan pelan-pelan dari generasi tua ke muda. (Blt)

×