Sebagai organisasi kemahasiswaan yang berakar dari Nahdlatul Ulama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bersama ounderbouw Partai NU lainnya (saat itu masih jadi partai) menentang keras tindakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah meletusnya tragedi G30S/PKI.
Para tokoh muda NU seperti Subchan Ze, M. Zamroni serta Yusuf Hasyim berperan aktif memimpin demonstrasi besar pada 4 Oktober 1965 yang menuntut Presiden Soekarno segera membubarkan PKI.
Dalam berbagai aksi tersebut, sejumlah aktivis PMII seperti Mahbub Djunaidi, Zamroni, Said Budairy dan Azwar Tias turut berpartisipasi. Kemudian, M. Zamroni dari PMII dipercaya menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebuah gerakan yang kelak berhasil menekan pemerintah untuk membubarkan PKI sekaligus mengakhiri masa kekuasaan Orde Lama.
Sehari setelah aksi besar tersebut, PMII DKI Jakarta terlibat aktif dalam menyerang markas besar PKI yang berlokasi di Jalan Kramat Raya 164, tidak jauh dari kantor PMII. Ketua PMII DKI Jakarta, Abdurrahman Hasan memimpin langsung pembakaran rumah D.N. Aidit.
Pada hari-hari berikutnya, banyak kader PMII ikut serta dalam penghancuran kantor-kantor organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Aksi rapat umum, pernyataan sikap serta demonstrasi anti-PKI semakin intens dilakukan.
Pasca peristiwa G30S, sejumlah tokoh muda dari berbagai organisasi berkumpul di rumah Subchan Ze di Jalan Banyumas, Jakarta. Mereka berdiskusi mencari langkah strategis dalam menghadapi situasi nasional yang genting.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah lahirnya organisasi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September 30 (KAP Gestapu) pada 4 Oktober 1965. Digerakkan oleh Subhan Ze dan tokoh muda Katolik, Harry Tjan Silalahi, KAP Gestapu berfungsi sebagai pusat analisis dan strategi gerakan anti-PKI.
Hasil pemikirannya menjadi dasar bagi aksi massa dan pernyataan politik yang dikeluarkan kemudian.
Pada saat yang sama, gerakan mahasiswa mengalami perpecahan. Sebagian mendukung pembasmian PKI, sementara sebagian lain, khususnya organisasi di bawah naungan PPMI memilih diam. Atas desakan Zamroni dari PMII, PPMI akhirnya menggelar Kongres Luar Biasa pada 29 Desember 1965 yang berujung pada keputusan membubarkan organisasi tersebut.
Tak lama kemudian, Menteri PTIP Brigjen Syarief Thayeb mengundang sejumlah tokoh mahasiswa non-komunis ke kediamannya. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan organisasi baru bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai pengganti PPMI yang telah tidak aktif.
Untuk enam bulan pertama, dibentuk presidium sementara dengan Zamroni (PMII) sebagai ketua, didampingi Cosmas Batubara (PMKRI), Elyas (Somal), David Napitupulu (Mahasiswa Pancasila), dan Mar’i Mohammad (HMI). PP (saat itu namanya Pengurus Pusat) PMII pun memberikan dukungan penuh atas kepemimpinan Zamroni di KAMI.
Pada 4 November 1965, KAMI di bawah pimpinan Zamroni melaksanakan aksi besar pertama dengan mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam PKI. Setelah itu, KAMI secara intens menggelar demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan perombakan kabinet yang dianggap terlalu dekat dengan partai tersebut.
Dalam aksi-aksi itu pidato para pemimpin KAMI membangkitkan semangat mahasiswa, terutama mendorong mahasiswa Universitas Indonesia agar turun ke jalan mengingat kampus tersebut dianggap sebagai simbol pergerakan intelektual nasional.
Gerakan KAMI terus berlanjut hingga mencapai Istana Negara. Dalam situasi politik yang semakin panas, sejumlah tokoh KAMI diundang Presiden Soekarno menghadiri Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor. Perwakilan mahasiswa hadir dari berbagai organisasi: Zamroni (PMII), Sofyan Wanandi (PMKRI), Silastomo dan Firdaus Wadji (HMI), serta Abdul Gafur (KAMI UI).
Di tengah gelombang aksi tersebut, PMII juga menggelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II di Semarang.
Dalam forum itu, PMII dibawah kepemimpinan Mahbub Djunaidi secara tegas menuntut pembubaran PKI dan seluruh organisasi massanya sebagai bentuk hukuman terhadap gerakan kontra-revolusioner yang dianggap berusaha merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
Situasi politik dan ekonomi yang kian memburuk diperparah dengan inflasi mencapai 600% serta kenaikan harga bahan bakar akibat kebijakan Orde Lama mendorong KAMI merumuskan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang menjadi pedoman gerakannya.
Isi Tritura mencakup tiga poin utama:
1. Bubarkan PKI beserta antek – anteknya
2. Retool Menteri – Menteri yang goblok
3. Turunkan harga.
Aksi-aksi tersebut akhirnya membawa perubahan besar dalam sejarah Indonesia. PKI dibubarkan, organisasi-organisasi bawahannya ditindak dan kekuasaan Orde Lama berakhir, membuka jalan bagi lahirnya Orde Baru.
Peran PMII dalam momentum tersebut sangat signifikan. Melalui keterlibatan aktif dan kepemimpinan Zamroni, PMII tidak hanya menjadi bagian dari KAMI tetapi juga turut membentuk arah pergerakannya di tingkat nasional.
Kepemimpinan Zamroni yang tegas dan konsisten sejak awal menjadi bukti bahwa PMII memiliki peran penting dalam dinamika politik menjelang kelahiran Orde Baru.
Sebagai Ketua Umum PMII pada periode berikutnya, posisi Zamroni berperan sentral dalam menggerakkan KAMI di tingkat pusat hingga daerah.
Pengorbanannya bahkan terlihat nyata tiga jari tangannya terputus ketika memimpin demonstrasi KAMI menuntut pembubaran PKI dan pertanggungjawaban pemerintah atas tragedi nasional yang melanda bangsa.
Gelombang “marathon” demonstrasi yang terus terjadi selama tahun 1965 – 1966 tidak lepas dari peranan KAMI dan PMII di dalamnya.

