Blitar – Sejarah bukan hanya deretan nama raja, peperangan dan pembangunan candi. Sejarah juga menyimpan kisah yang sering terlupakan, yakni perempuan.
Di Blitar, sebuah tanah yang menjadi saksi bisu lahirnya pahlawan, peradaban hingga simbol kebangkitan bangsa. Perempuan hadir sebagai roh yang menyelimuti perjalanan waktu dari mitologi, legenda, hingga realitas sosial yang kita rasakan hari ini.
Jika kita menengok jauh ke belakang, mitologi Jawa banyak menyelipkan sosok perempuan yang penuh daya magis dan simbolik. Sebut saja kisah Dewi Kilisuci, putri dari Kediri yang memilih jalan pertapaan ketimbang tahta. Sikapnya yang menolak pernikahan demi menjaga kesucian hidup telah menjadi inspirasi spiritual bagi perempuan Jawa.
Blitar, yang berada di lingkaran kerajaan-kerajaan kuno seperti Kediri dan Majapahit, tak pernah lepas dari bayang-bayang mitos perempuan sakti. Sosok-sosok ini bukan sekadar pelengkap cerita, melainkan lambang kekuatan batin dan keteguhan hati perempuan Jawa.
Blitar juga identik dengan peninggalan sejarah Majapahit. Candi Simping, misalnya, diyakini sebagai tempat persemayaman Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Namun di balik nama besar para raja, terdapat sosok perempuan yang membentuk arah sejarah.
Salah satunya adalah Tribhuwana Tunggadewi, seorang ratu Majapahit yang memimpin dengan gagah berani. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah pengecualian, melainkan bukti bahwa kecerdasan, keberanian serta empati mampu menyatukan kerajaan. Dalam konteks Blitar, pengaruh Majapahit ini menetes dalam darah masyarakatnya, menumbuhkan penghargaan tersirat terhadap peran perempuan.
Memasuki era kolonial, perempuan Blitar tampil bukan hanya dalam bayangan mitologi, tetapi dalam realitas perjuangan sosial. Kita mengenal Cut Nyak Dien dan RA Kartini di kancah pergerakan nasional, namun di Blitar pun tumbuh perempuan-perempuan pejuang yang jarang diabadikan dalam buku teks.
Mereka hadir sebagai guru desa, ibu rumah tangga yang menyembunyikan pejuang, hingga pedagang pasar yang menopang ekonomi rakyat. Meski namanya tak selalu tercatat, kontribusi mereka nyata seperti menjaga kehidupan tetap berjalan ketika para lelaki maju berperang.
Blitar juga tidak bisa dilepaskan dari nama besar Ir. Soekarno, proklamator bangsa sekaligus Presiden pertama. Di balik Bung Karno, ada figur perempuan yang mewarnai perjalanan hidupnya. Yakni ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, yang menanamkan karakter spiritualitas Bali-Jawa yang berperan langsung kepada jati diri proklamator tersebut selama hidupnya.
Bung Karno sendiri pernah berkata bahwa bangsa besar tak akan lahir tanpa perempuan yang melahirkannya. Maka, Blitar sebagai tempat peristirahatan terakhir sang proklamator secara simbolik juga menjadi tanah yang menghormati kehadiran dan pengorbanan perempuan.
Kini di abad ke-21, perempuan Blitar tak lagi berada di balik bayangan sejarah, melainkan hadir nyata di garis depan pembangunan sosial. Mereka menjadi pendidik, aktivis, seniman, wirausaha, hingga pemimpin politik.
Membaca perjalanan sejarah perempuan di Blitar, kita belajar satu hal yaitu, perempuan selalu menjadi pusat peradaban meski kadang kisah mereka ditulis samar dalam catatan sejarah. Dari mitologi hingga realitas sosial, perempuan adalah jiwa yang menyatukan masa lalu dan masa depan. (Blt)