Artikel Opini
Beranda » Perdebatan global: Siapa sebenarnya dalang 1965 di Indonesia?

Perdebatan global: Siapa sebenarnya dalang 1965 di Indonesia?

DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang riwayatnya berakhir tragis usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965.
DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang riwayatnya berakhir tragis usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Ithaca – Jakarta – Washington – Moskow. Empat kota, satu peristiwa. Gerakan 30 September 1965 bukan hanya mengguncang Indonesia, tapi juga membelah dunia akademik dan diplomasi internasional.

Ketika Cornell Paper terbit, perdebatan yang tadinya berbisik berubah menjadi pertempuran ideologi di ruang kuliah, media, dan ruang sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bagi Amerika dan sekutunya, peristiwa itu adalah bukti kemenangan mereka dalam Perang Dingin.

Bagi Uni Soviet dan Tiongkok, itu tragedi pengkhianatan terhadap revolusi dunia ketiga. Dan bagi Anderson dan McVey, itu hanyalah kekacauan manusia yang terlalu cepat disulap menjadi propaganda.

Ketika “Cornell Paper” dilarang dibaca di Indonesia, mengapa yang terkait 1965 dilarang?

Amerika: “Kemenangan Tanpa Perang”

Washington menyambut versi resmi Orde Baru dengan gembira. Setelah bertahun-tahun khawatir terhadap kebangkitan PKI,  partai komunis terbesar di luar Blok Timur, mereka akhirnya melihat “solusi” datang tanpa perlu mengirim satu pun pasukan.

CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat segera menyebarkan narasi bahwa Indonesia telah diselamatkan dari kudeta komunis. Media Barat seperti Time dan The New York Times menulis berita dengan nada lega, menggambarkan Suharto sebagai penyelamat Asia Tenggara dari nasib seperti Vietnam.

Kebingungan, bukan konspirasi: Logika Ben Anderson & McVey soal Tragedi 1965

Namun ketika Cornell Paper muncul, narasi itu mulai retak. Laporan itu menunjukkan bahwa tidak ada bukti langsung keterlibatan PKI dalam perencanaan kudeta. Amerika merespons dengan cara khas: bukan dengan menyangkal, tapi dengan mengabaikan.

“Laporan Cornell adalah analisis akademis yang tidak memahami politik Indonesia,” begitu bunyi salah satu memo diplomatik Amerika pada 1966.

Uni Soviet dan Tiongkok: Menyalahkan Militer

Militer Indonesia dari struktur, loyalitas, dan ketegangan internal dalam Tragedi 1965

Di sisi lain, Moskow dan Beijing sama-sama menolak narasi Orde Baru, tapi dengan motif berbeda. Soviet menuduh militer Indonesia telah disusupi “agen kapitalis,” sementara Tiongkok menyebut peristiwa itu pembersihan politik terbesar terhadap kaum revolusioner di Asia.

Namun, bahkan mereka pun tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. PKI yang dianggap “sekutu ideologis” ternyata sama sekali tidak berkomunikasi dengan kedua negara itu menjelang kudeta.

Ben Anderson dan McVey menulis: “Ironisnya, dunia komunis lebih banyak menebak daripada memahami.”

Jawa Tengah: Medan politik yang menentukan dalam Tragedi 1965

Sementara di dalam negeri, propaganda anti-Tiongkok meledak, dan ribuan warga keturunan Tionghoa diburu dengan alasan yang tak pernah jelas.

Akademisi Barat Terbelah Dua

Setelah Cornell Paper beredar, dunia akademik internasional terbelah. Sebagian peneliti mendukung Anderson dan McVey, menyebut analisis mereka “logis dan berani.”

Namun sebagian lain, termasuk ilmuwan politik konservatif, menuduh mereka naif, idealis, bahkan simpatisan kiri. Perdebatan ini memuncak pada konferensi akademik di London dan Sydney pada awal 1970-an.

Di sana, para ilmuwan memperdebatkan hal-hal yang sampai kini belum tuntas: Apakah G30S adalah kudeta yang gagal atau manipulasi yang berhasil? Apakah kekacauan itu spontan atau sengaja diciptakan? Dan siapa sebenarnya yang pertama kali menarik pelatuk sejarah?

“Setiap pihak membaca 1965 seperti cermin,” tulis Anderson. “Yang mereka lihat bukan Indonesia, tapi ketakutan mereka sendiri.”

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×