Artikel Opini
Beranda » Perang Iran-Israel: pelanggaran hukum Internasional dan peran AS dalam eskalasi konflik

Perang Iran-Israel: pelanggaran hukum Internasional dan peran AS dalam eskalasi konflik

Asap mengepul dari reruntuhan gedung media pemerintah Iran di Teheran setelah serangan udara Israel pada 16 Juni 2025. Serangan tersebut, yang dikonfirmasi Israel menargetkan "infrastruktur propaganda terkait teror," menandai eskalasi lebih lanjut dalam ketegangan regional. MINA/Middle East Images/AFP via Getty Images
Asap mengepul dari reruntuhan gedung media pemerintah Iran di Teheran setelah serangan udara Israel pada 16 Juni 2025. Serangan tersebut, yang dikonfirmasi Israel menargetkan "infrastruktur propaganda terkait teror," menandai eskalasi lebih lanjut dalam ketegangan regional. MINA/Middle East Images/AFP via Getty Images

Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang meledak pada pertengahan Juni 2025 merupakan salah satu titik balik paling kritis dalam konstelasi keamanan kawasan Timur Tengah.

Namun, lebih dari sekadar dua negara yang berseteru, konflik ini juga memperlihatkan lagi peran destruktif Amerika Serikat sebagai aktor luar yang justru memperkeruh situasi.

Dari perspektif hukum internasional, keterlibatan langsung AS melalui penyerangan fasilitas militer Iran, dukungan intelijen kepada Israel serta penggunaan kekuatan militer tanpa mandat PBB menjadi bukti bahwa kekuasaan kembali mengungguli keadilan di tengah sistem hukum internasional yang seharusnya mengatur.

Tegaskan komitmen penegakan hukum, Satpol PP Kabupaten Blitar gelar sosialiasi di Wlingi

Sebagai catatan, berdasarkan laporan resmi, serangan udara Israel dan sekutunya (AS) telah menyebabkan sedikitnya 657 korban jiwa di Iran dan lebih dari 2.000 orang luka-luka. Serangan ini bukan hanya menyasar instalasi militer, tetapi juga menewaskan warga sipil serta para tokoh penting Iran seperti Mohammad Bagheri (Kepala Staf Angkatan Bersenjata), Hossein Salami (Komandan IRGC), dan ilmuwan nuklir seperti Ahmadreza Zolfaghari dan Fereydoon Abbasi.

Dalam hukum humaniter internasional, pembunuhan terarah terhadap individu sipil terutama yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran sekaligus dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip “distinction” dan “proportionality”.

Amerika Serikat yang seharusnya menjaga stabilitas global, justru menjadi aktor aktif dalam memperbesar intensitas konflik. Serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Fordow melibatkan logistik dan teknologi AS tanpa seizin Dewan Keamanan PBB. Ini jelas melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB tentang larangan penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain.

Pembagian zaman prasejarah berdasarkan geologi

AS bukan sekadar “sekutu pasif”, melainkan secara hukum adalah “pihak dalam konflik” (party to the conflict) yang turut bertanggung jawab atas akibat dari penggunaan kekuatan militer secara ilegal.

Keterlibatan AS melanggar prinsip “non-intervention” dan prinsip tanggung jawab negara ketiga sebagaimana diatur dalam Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (Pasal 16).

Bantuan aktif AS kepada Israel dalam konteks pelanggaran hukum internasional dapat menjadikannya bertanggung jawab secara kolektif. Ini menjadi contoh buruk bagaimana negara kuat merasa kebal terhadap norma hukum global, bahkan saat tindakan mereka secara terang-terangan melanggar asas kedaulatan dan prinsip-prinsip perdamaian internasional.

Kami mewawancarai M. ‘Ucok’ Arifin, mantan striker andalan PSBI Blitar

Iran mengumumkan gencatan senjata pada 24 Juni 2025, sebagaimana Presiden AS sendiri mengklaim di media sosial bahwa “gencatan senjata sekarang berlaku”. Namun, gencatan ini bersifat rapuh dan belum didasarkan pada kesepakatan damai formal, melainkan pada tekanan politik dan kelelahan militer.

Iran menyatakan bahwa penghentian serangan hanya bersyarat jika Israel terlebih dahulu menghentikan agresinya. Ini menunjukkan bahwa penghentian kekerasan tidak lahir dari itikad hukum, melainkan dari kalkulasi taktis semata.

Gencatan senjata ini tidak menghapus fakta bahwa ribuan korban telah berjatuhan dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional telah terjadi. Tidak adanya investigasi independen, tidak aktifnya Dewan Keamanan PBB, serta pembiaran atas aksi militer AS memperlihatkan krisis akuntabilitas dalam sistem hukum global.

Amerika Serikat, dengan perannya sebagai pemicu eskalasi, seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas setiap pelanggaran yang dilakukan baik secara langsung maupun sebagai fasilitator kekuatan bersenjata yang melampaui batas legalitas.

Yang menjadi pertaruhan saat ini bukan hanya stabilitas kawasan, melainkan masa depan kredibilitas hukum internasional. Jika serangan sepihak tanpa bukti ancaman yang nyata dapat dibenarkan juga jika negara seperti AS terus lolos dari tuntutan hukum, maka dunia sedang melangkah mundur dari prinsip keadilan universal. Hukum internasional bukan sekadar teks di atas kertas, tetapi fondasi etis yang melindungi umat manusia dari kekuasaan yang tak terkendali.

Maka dari itu, dunia internasional melalui Mahkamah Internasional (ICJ), Dewan Keamanan, dan institusi multilateral lain harus segera bergerak. Investigasi perlu dilakukan, akuntabilitas harus ditegakkan serta tekanan politik perlu diarahkan pada semua aktor yang telah melanggar norma hukum internasional.

Gencatan senjata ini dirasa hanyalah sementara sifatnya. Tanpa keadilan dan pertanggungjawaban, perdamaian hanyalah ilusi yang bisa pecah kapan saja serta menarik banyak negara dalam konflik ini.

×