Jakarta – Di balik slogan “pemulihan keamanan dan ketertiban”, negara menjalankan bentuk penyiksaan yang sistematis dan brutal.
Bagi para tahanan politik 1965, tubuh mereka menjadi medan tempur ideologi. Kekerasan fisik dan seksual bukan sekadar pelampiasan kebencian, tapi bagian dari strategi politik untuk menghancurkan martabat manusia dan menanamkan rasa takut permanen.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, pola penyiksaan di seluruh Indonesia menunjukkan keseragaman yang mengerikan, dari ruang interogasi Kodim di Jawa Timur, penjara Bukit Duri di Jakarta, hingga kamp Pulau Buru. Semua tunduk pada satu logika: hancurkan tubuh, bungkam pikiran.
Setiap penahanan dimulai dengan interogasi. Namun interogasi yang dimaksud bukan proses hukum, melainkan penyiksaan untuk memaksa pengakuan dan menanamkan rasa tunduk.
Para tahanan disetrum dengan kabel telepon lapangan, dipukuli dengan popor senjata, disiram air hingga hampir mati lemas, lalu dipaksa menandatangani dokumen kosong.
Kesaksian dalam Dalih Pembunuhan Massal menggambarkan pemandangan yang berulang: “Kami ditanya siapa pimpinan PKI. Kalau menjawab ‘tidak tahu,’ kami disetrum. Kalau menjawab nama siapa pun, kami disuruh tulis lebih banyak nama.”
Penyiksaan ini tidak hanya untuk mencari informasi, tapi untuk membangun narasi politik.
Dengan pengakuan palsu, militer bisa menyusun “bukti” bahwa ada jaringan besar PKI, dan karenanya operasi pembasmian harus dilanjutkan.
Salah satu bab paling gelap dalam laporan Dalih Pembunuhan Massal adalah kekerasan seksual terhadap tahanan perempuan. Banyak yang sebelumnya aktif di organisasi wanita seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Setelah propaganda militer menuduh Gerwani sebagai pelaku penyiksaan jenderal di Lubang Buaya, mereka dijadikan sasaran balas dendam seksual di seluruh Indonesia.
Tahanan perempuan diperkosa secara bergantian di pos militer, diinterogasi dalam keadaan telanjang, bahkan dipaksa menonton sesama tahanan disiksa. Sebagian besar kemudian ditahan di kamp Plantungan, di mana kekerasan fisik digantikan oleh penghinaan moral dan kerja paksa tanpa batas waktu.
Seorang mantan tahanan berkata dalam laporan itu: “Kami dipanggil ‘pelacur komunis’. Padahal kami tidak pernah bersentuhan dengan politik, hanya aktif mengajar anak-anak.”
Negara menstigma tubuh perempuan sebagai simbol dosa ideologis dan melalui penghancuran seksual, mereka ingin menegaskan dominasi total.
Tahanan laki-laki mengalami bentuk penyiksaan berbeda tapi tak kalah brutal. Banyak yang digantung, disiram minyak tanah dan dibakar, atau dipaksa berlari di tengah hujan peluru. Yang lainnya dibiarkan kelaparan selama berhari-hari, hanya diberi air kotor untuk bertahan hidup.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal mendokumentasikan pola yang sama di hampir semua kamp: penderitaan fisik dijadikan alat untuk “membersihkan” jiwa dari pengaruh komunis. Itu bukan penyiksaan spontan, tapi ritual politik.
Negara menjadikan penderitaan tubuh sebagai simbol penebusan bagi “kesalahan ideologi.”
Kekerasan seksual dan penyiksaan tidak hanya menghancurkan tubuh, tapi juga menandai status sosial korban setelah bebas. Perempuan yang dilecehkan dijauhi masyarakat. Laki-laki yang disiksa dianggap “cacat ideologis.”
Stigma ini menempel selama puluhan tahun, membuat korban terus menderita bahkan setelah keluar dari penjara. “Negara tidak hanya menyiksa,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “tapi juga memastikan korban tidak akan pernah pulih.”
Kekerasan terhadap tubuh menjadi cara paling efektif untuk menghapus eksistensi politik seseorang, karena luka fisik hilang, tapi rasa malu yang ditanamkan bertahan selamanya.
Hingga kini, hampir tak ada pelaku yang dimintai pertanggungjawaban. Kekerasan seksual terhadap tahanan perempuan bahkan nyaris tidak pernah disebut dalam dokumen resmi negara.
Para korban hidup dalam kebisuan, sebagian memilih tidak pernah menceritakan pengalaman mereka bahkan pada keluarga sendiri. “Bicara tentang apa yang terjadi berarti membuka luka dan menghadapi stigma baru,” kata seorang penyintas Plantungan dalam wawancara untuk laporan tersebut.
Bagi sebagian korban, tubuh mereka adalah arsip terakhir dari kebenaran. Bekas luka bakar, gigi ompong, punggung bengkok, semuanya menjadi saksi bisu dari sistem kekuasaan yang menjadikan manusia sebagai alat propaganda.
“Mereka ingin kami hilang,” tulis salah satu catatan tahanan di Pulau Buru, “tapi luka kami tetap hidup, dan itu lebih keras dari propaganda mana pun.”
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

