Ithaca, 1966. Dua nama yang dulu hanya dikenal di kalangan kampus kecil di Amerika, tiba-tiba menjadi legenda, sekaligus momok.
Benedict Anderson dan Ruth McVey, dua peneliti muda dari Cornell University, menulis satu laporan yang tidak pernah diterbitkan secara resmi, namun mengguncang dunia: A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia.
Yang mereka tulis bukan sekadar analisis politik, tapi cara baru memahami Indonesia, bukan lewat mitos nasional, tapi lewat struktur sosial, budaya, dan logika kekuasaan yang bekerja di bawah permukaan.
Dari Laporan ke Paradigma
Setelah Cornell Paper beredar, arah studi tentang Indonesia berubah selamanya.
Sebelum itu, penelitian tentang negara ini didominasi oleh pandangan kolonial dan laporan politik yang cenderung normatif.
Anderson dan McVey datang dengan pendekatan berbeda: mereka melihat negara bukan hanya sebagai lembaga, tapi sebagai makhluk sosial yang penuh kontradiksi.
Dalam analisis mereka, kudeta 1965 bukanlah perang ideologi, melainkan ledakan dari sistem sosial yang gagal berkomunikasi. Pendekatan ini membuka jalan bagi apa yang kemudian disebut Indonesian Studies modern, studi lintas disiplin yang menggabungkan politik, sejarah, budaya, dan bahasa.
“Cornell Paper tidak hanya menjelaskan peristiwa,” tulis salah satu akademisi kemudian, “ia mengajarkan cara berpikir tentang Indonesia tanpa harus tunduk pada narasi penguasa.”
Akademisi yang Jadi Pengasing
Namun pengaruh besar datang dengan harga mahal. Ben Anderson dan McVey dilarang masuk ke Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Pemerintah Orde Baru mencatat nama mereka dalam daftar hitam, seolah keduanya adalah ancaman yang lebih berbahaya dari gerilyawan bersenjata. Ironisnya, dari luar negeri mereka justru membentuk generasi baru peneliti Indonesia.
Lewat program Modern Indonesia Project di Cornell, mereka membimbing banyak mahasiswa dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang kemudian menjadi akademisi dan aktivis penting setelah Reformasi 1998.
Benedict Anderson, bahkan dalam pengasingannya, tetap menulis dan berbicara dengan nada lembut tapi tajam: “Saya tidak anti-Indonesia. Saya hanya tidak mau mencintai Indonesia dengan kebohongan.”
Sejak terbitnya Cornell Paper, muncul gelombang penelitian baru yang mengambil semangat yang sama: membongkar, bukan menuduh.
Nama-nama seperti Robert Cribb, John Roosa, Geoffrey Robinson, dan Kate McGregor, semuanya berdiri di atas fondasi intelektual yang dibangun oleh Anderson dan McVey.
Di Indonesia sendiri, setelah Reformasi, muncul generasi akademisi muda yang berani mengulik kembali arsip lama: menggali kuburan massal, mewawancarai korban, dan menulis ulang sejarah tanpa takut kehilangan pekerjaan. Semangatnya sama: menulis dengan keberanian intelektual, bukan dengan izin politik.
Dari Kampus ke Aktivisme
Pengaruh Cornell Paper tidak berhenti di ruang kuliah. Konsep bahwa “negara bisa salah membaca dirinya sendiri” menjadi inspirasi bagi aktivis HAM dan jurnalis investigatif Indonesia.
Organisasi seperti KontraS, Yayasan 65, dan YPKP sering mengutip pendekatan mereka: bahwa kebenaran sejarah hanya bisa lahir dari pembacaan kritis, bukan dari arsip yang disensor negara.
“Ben Anderson mengajarkan kita satu hal sederhana,” kata seorang aktivis muda, “bahwa cinta tanah air bukan berarti percaya pada setiap cerita yang diceritakan negara.”
Ketika akhirnya Anderson diizinkan kembali ke Indonesia pada 1999, sambutannya bukan dari pemerintah, tapi dari mahasiswa dan penyintas 1965. Ia berbicara di Yogyakarta, tempat lahirnya sebagian besar perwira yang dulu ia tulis dalam Cornell Paper, dan disambut bukan dengan amarah, tapi tepuk tangan panjang.
Di hadapan ratusan anak muda, ia menutup pidatonya dengan kalimat sederhana: “Jangan takut pada sejarah. Takutlah jika sejarah hanya punya satu suara.”
Warisan yang Tak Pernah Padam
Kini, hampir enam dekade setelah laporan itu ditulis, pengaruhnya masih terasa. Setiap kali generasi baru mencoba membaca ulang 1965, mereka sebenarnya sedang melanjutkan percakapan yang dimulai oleh Anderson dan McVey.
Mereka tidak menulis kebenaran terakhir, hanya membuka pintunya. Dan mungkin, itulah mengapa karya mereka tak pernah mati: karena ia tidak berhenti di tahun 1965, tapi terus hidup di setiap upaya memahami Indonesia hari ini.
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

