Penyidik memiliki kewenangan untuk mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, namun wewenang ini harus tetap berlandaskan hukum serta prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat luas, kepentingan umum pada pihak yang lain.
Salah satu wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik yang bersifat pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang adalah bentuk penangkapan.
Pasal 1 Angka 20 KUHAP menegaskan:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan serta dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Makna pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka di atas tidak lain adalah pengekangan secara fisik atau psysical custody yang berbeda dengan misalnya memberhentikan seseorang dijalan guna ditanyai. Berarti penangkapan merupakan menempatkan seseorang di bawah pengawasan tertentu dan di tempat yang telah ditentukan.
Syarat-syarat Penangkapan:
Penangkapan merupakan upaya paksa yang bersentuhan tindakan tersebut harus memenuhi syarat yang digariskan undang-dengan hak asasi karena itu agar tidak dilakukan semena-mena. Berikut ini beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam hal melakukan penangkapan, yaitu:
a. Adanya Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHAP, yang menegaskan bahwa:
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia periksa.
Ditingkat kepolisian, ketentuan a quo ditegaskan kembali dalam Pasal 37 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang menegaskan, “Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib memberitahu/menunjukan tanda identitasnya sebagai petugas Polri, dan menunjukan surat perintah penangkapan:….”
Berdasarkan ketentuan a quo, penyidik dalam melakukan upaya paksa berupa penangkapan, harus memperlihatkan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan. Kedua syarat tersebut harus diperlihatkan secara bersamaan pada waktu melakukan penangkapan.
Sekalipun petugas membawa surat perintah penangkapan, surat perintah itu belum memadai jika tidak dilengkapi dengan surat perintah tugas, demikian sebaliknya, sekalipun ada surat perintah tugas akan tetapi tidak dilengkapi dengan surat-surat perintah penangkapan, tindakan penangkapan dianggap tidak memenuhi ketentuan undang-undang yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHAP Akibat hukum dari tidak terpenuhinya kedua persyaratan tersebut menjadikan upaya penangkapan batal demi hukum (void ab initio).
Pengecualian terhadap kedua syarat tersebut, hanya dapat dilakukan apabila dalam kondisi tertangkap tangan. Pasal 18 Ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa:
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
b. Adanya Bukti Permulaan yang Cukup
Ketentuan Pasal 17 KUHAP menyebutkan, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Pada dasarnya fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas dua buah kategori, yaitu merupakan persyaratan untuk:
1) Melakukan penyidikan.
2) Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.
Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 menyebutkan, “Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan adanya bukti permulaan yang cukup.”
Makna dari frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam ketentuan a quo didasarkan atas hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang menafsirkan bahwa frasa “bukti permulaan yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP terdiri dari:
a) Keterangan Saksi
b) Keterangan Ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan Terdakwa
Bukti permulaan yang cukup harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan penangkapan. Penyidik pada waktu melakukan penangkapan, wajib memberitahu tersangka, bahwa berdasarkan hasil penyidikan sebelumnya telah ditemukan dua alat bukti, apakah itu keterangan saksi ditambah keterangan ahli, atau keterangan saksi dengan alat bukti surat.
Khusus untuk alat bukti petunjuk dan keterangan terdakwa nanti didapatkan pada proses pemeriksaan pokok perkara, artinya tidak boleh digunakan oleh penyidik sebagai alat bukti dalam hal melakukan penangkapan, penjelasan mengenai hal ini nanti akan diuraikan pada bab selanjutnya.
Apabila belum ditemukan dua alat bukti, sementara penyidik telah melakukan upaya penangkapan, maka tindakan penangkapan tersebut dianggap tidak sah. Jadi, proses pengumpulan alat bukti harus terlebih dahulu dilakukan sebelum proses penangkapan.
c. Telah Dipanggil Dua Kali Berturut-turut
Ketentuan pemanggilan dua kali berturut-turut ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Perkap No. 14 Tahun 2012, yang menyebutkan, “Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan tersangka telah dipanggil dua kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.”
d. Telah Berstatus Sebagai Tersangka
Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang telah berstatus tersangka ini, dapat dimaknai dari frasa pengertian penangkapan dalam Pasal 1 Angka 20 KUHAP, yang menyebutkan, “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan TERSANGKA;…”. Dalam Peraturan Kapolri di atas juga secara jelas disebutkan bahwa tindakan penangkapan terhadap TERSANGKA;….”.
Terkadang, dalam praktik yang terjadi, seseorang belum pernah dipanggil dan diperiksa tapi penyidik secara cepat melakukan tindakan penangkapan. Proses pembuktian dalam tahap penyidikan pun belum pernah dilakukan, begitu juga dengan pengumpulan alat bukti. Nanti setelah yang bersangkutan ditangkap barulah dilakukan pemeriksaan, dicarikan alat bukti dan ditetapkan sebagai tersangka. Pola penanganan seperti ini tidak sah secara hukum, kecuali dalam hal tertangkap tangan.
Menerapkan kewenangan harus tunduk dan taat kepada the right of due process serta tidak boleh melalui cara undue process. Sudah saatnya semua aparat penegak hukum menjunjung harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan. Sehingga dalam setiap proses penanganan perkara penyidik tidak serampangan bertindak dan tetap menjaga hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak tersangka.
e. Tembusan Surat Perintah Penangkapan Diberikan Kepada Keluarganya
Syarat ini dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP, yang menegaskan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
Frasa “segera” dalam ketentuan a quo, tidak dijelaskan di dalam KUHAP tentang tenggang waktunya berapa hari tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarga tersangka.
Penegasan dari frasa “segera” barulah mendapat kejelasan setelah Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran dalam Putusan No. 3/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa frasa “Segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari.”
Sehingga, apabila penyidik setelah melakukan tindakan penangkapan tidak segera dalam waktu tujuh hari memberikan tembusan surat perintah penangkapan tersebut kepada keluarga tersangka, maka proses penangkapan tersebut dianggap tidak sah.
Batas Waktu Penangkapan
Pasal 19 Ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Penangkapan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Dari ketentuan a quo, lewat dari satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya penangkapan dianggap “tidak sah”. Konsekuensinya, tersangka harus “dibebaskan demi hukum”. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya, atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.”
Namun, untuk tindak pidana terorisme, sebagaimana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (Perppu No. 1 Tahun 2002), disebut dalam pasal 28:
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7×24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.

