Artikel Opini
Beranda » Paradoks kekuasaan dalam demokrasi kita!

Paradoks kekuasaan dalam demokrasi kita!

Alex Cahyono. (Dok. Pribadi)

Kenyataan politik hari ini menunjukkan bahwa demokrasi yang dijalankan melalui rutinitas pemilihan umum belum tentu melahirkan kepemimpinan yang berkualitas sebagaimana diharapkan publik.

Demokrasi prosedural yang berhenti pada pemilu lima tahunan, justru semakin menjauh dari substansi demokrasi itu sendiri ketika kekuasaan yang dihasilkan tidak disertai kemauan politik untuk memperjuangkan kepentingan publik.

Kondisi ini kian terasa nyata dalam konteks politik di era Prabowo, terutama ketika negara dihadapkan pada gelombang kritik, protes serta ketidakpuasan publik yang berujung pada represi.

Mengapa keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi sulit diwujudkan? Pusat sebagai penghambat!

Secara teoritik, kekuasaan politik yang lahir dari proses demokrasi memiliki landasan moral yang kuat. Hal ini diasumsikan bekerja untuk mewujudkan common good dan public interest. Dari Aristoteles hingga Hobbes, negara dengan otoritas besar justru dimaknai sebagai instrumen untuk menjaga kebajikan publik dan mencegah kekacauan.

Pemilu, dalam kerangka ini adalah mekanisme legal dan legitim untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak diperoleh melalui kekerasan, penaklukan  ataupun pemberontakan. Namun asumsi normatif tersebut menjadi rapuh ketika praktik kekuasaan justru bergerak menjauh dari nilai-nilai moral yang melandasinya.

Peristiwa kerusuhan dan gelombang demonstrasi pada akhir Agustus lalu menjadi penanda penting dari krisis tersebut. Aksi massa yang berangkat dari kegelisahan terhadap arah kebijakan negara direspons dengan pendekatan keamanan yang berlebihan.

Operator ekskavator di Blitar ini ditemukan tewas, keluarga curiga gara-gara tak kunjung pulang

Penindakan terhadap aktivis, kriminalisasi massa aksi hingga laporan mengenai korban jiwa serta aktivis yang mengalami kriminalisasi, memperlihatkan wajah kekuasaan yang defensif dan anti-kritik.

Dalam situasi semacam ini, negara tidak lagi tampil sebagai pelindung hak warga negara, melainkan sebagai aparat kekuasaan yang berusaha mempertahankan stabilitas dengan mengorbankan kebebasan sipil.

Di titik inilah sinisme terhadap demokrasi menemukan relevansinya. Pandangan teori rasional yang melihat kekuasaan sebagai alat pemenuhan self interest menjadi semakin masuk akal ketika elite politik lebih sibuk mengamankan konsolidasi kekuasaan ketimbang mendengar suara publik.

1.706 mahasiswa asal Kabupaten Blitar dapatkan bantuan biaya kuliah

Nietzsche pernah menyebut bahwa dorongan dasar manusia adalah kehendak untuk berkuasa. Ketika dorongan ini tidak dikontrol oleh etika dan mekanisme pengawasan yang kuat, kekuasaan akan menjelma menjadi tujuan itu sendiri, bukan sarana untuk melayani rakyat.

Pernyataan Lord Acton bahwa “power tends to corrupt” terasa nyata ketika kekuasaan yang legal dan legitim justru digunakan untuk membungkam perbedaan.

Era Prabowo memperlihatkan paradoks demokrasi Indonesia hari ini, di satu sisi kekuasaan diperoleh melalui proses elektoral yang sah, di sisi lain praktik kekuasaan cenderung mengerdilkan ruang oposisi dan partisipasi kritis warga negara.

Aksi tanam pohon di Tulungagung, langkah konkret PKC PMII Jatim jaga lingkungan hidup

Demokrasi direduksi menjadi angka suara, bukan kualitas kebijakan. Hukum diposisikan sebagai alat ketertiban, bukan keadilan. Aparat negara lebih sering hadir sebagai simbol kekuatan, bukan sebagai pelayan publik. Akibatnya, legitimasi moral kekuasaan mengalami degradasi, meskipun legitimasi formalnya tetap ada.

Situasi ini seharusnya menjadi alarm serius. Demokrasi tanpa keberanian untuk mengontrol kekuasaan hanya akan melahirkan otoritarianisme bergaya baru, yang bersembunyi di balik prosedur elektoral.

Jika kekuasaan tidak diarahkan untuk mentransformasikan sumber daya politik menjadi kebijakan yang berpihak pada rakyat, maka pemilu hanyalah ritual kosong.

Kritik, perlawanan sipil sekaligus gerakan mahasiswa yang hari ini direpresi justru merupakan upaya menjaga demokrasi agar tidak sepenuhnya jatuh ke dalam logika kekuasaan yang koruptif.

Kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa sering pemilu dilaksanakan, melainkan dari sejauh mana kekuasaan mampu dikendalikan dan diarahkan untuk kepentingan publik.

Tanpa political will yang berpihak pada rakyat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kekuasaan betapapun sahnya akan kehilangan makna etiknya. Ketika itu terjadi, demokrasi bukan lagi jalan menuju kebaikan bersama, melainkan panggung legitimasi bagi hasrat berkuasa! (lex/blt)

×