Artikel Opini
Beranda » Mengurai kembali Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran ala PMII (sebuah ironi)

Mengurai kembali Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran ala PMII (sebuah ironi)

PKD PMII Unisba Blitar. (PMII Unisba Blitar)

Nalar gerak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum dan Rusdin M. Noor sebagai Sekretaris Jenderal pada periode (1994-1997).

Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan secara resmi untuk merumuskan arah gerakan, paradigma dimaknai sebagai prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam merespons pluralitas strategi dan disesuaikan dengan lokalitas masalah serta medan juang kader PMII di seluruh Indonesia.

Rumusan tersebut dibukukan dalam karya Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran yang terbit pada November 1997. Paradigma Pergerakan, sebagaimana judul resminya disambut secara luas oleh anggota dan kader PMII. Pada masanya, dokumen ini terasa relevan dan menjawab kegelisahan kaum pergerakan yang merasa tercekik oleh situasi sosial politik nasional yang sentralistik, tertutup serta menekan ruang kritik.

Penaklukan Mekah, sebuah bukti kemenangan tanpa balas dendam yang dilakukan Rasulullah

Buku tersebut secara tegas menjelaskan latar sosio-politik kelahiran paradigma arus balik. Pertama, negara tampil sebagai aktor otonom yang peranannya seolah berada di atas masyarakat yang justru menjadi sumber legitimasi keberadaannya.

Kedua, birokrasi dan teknokrasi memainkan peran dominan dalam proses rekayasa sosial, ekonomi serta politik. Ketiga, sektor-sektor populer dalam masyarakat semakin terpinggirkan, termasuk kaum intelektual kritis. Keempat, negara menerapkan model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk mengelola kepentingan politik.

Kelima, hegemoni ideologi digunakan secara efektif untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri tersebut sebagaimana dicatat dalam buku itu, tidak jauh berbeda dengan karakter negara kapitalis pinggiran atau peripheral capitalist state.

Cetak organisatoris handal, PMII Madjapahit Unisba Blitar gelar forum analisis diri dan manajemen organisasi

Paradigma arus balik menandai perubahan penting dalam cara PMII membaca realitas. Gerakan tidak lagi semata dipandu oleh respons taktis, melainkan oleh kesadaran teoritik. Arah gerakan dibalik dari pusat kekuasaan menuju basis sosial masyarakat pinggiran.

Negara tidak lagi diposisikan sebagai satu-satunya agen perubahan, sementara masyarakat sipil ditempatkan sebagai kekuatan utama yang harus diperkuat.

Kelahiran paradigma ini tidak bisa dilepaskan dari konteks Orde Baru. Negara hadir secara dominan dan sentralistik, sementara partisipasi warga dibatasi dalam kerangka stabilitas politik. Kritik kerap dicurigai sebagai ancaman.

Lirik lagu dari Over Distortion yang berjudul ‘Selebrasi’

Dalam situasi tersebut, PMII memilih berdiri di luar arus utama kekuasaan. Paradigma arus balik menjadi fondasi ideologis untuk menjaga jarak kritis terhadap negara, sekaligus mempertegas keberpihakan pada rakyat.

Pada level praksis, paradigma ini mendorong advokasi sosial dalam pengertian luas. Advokasi tidak hanya dipahami sebagai pendampingan kasus, tetapi juga mencakup produksi wacana, penyadaran publik serta. perlawanan terhadap hegemoni negara atas individu serta komunitas. Tujuan akhirnya adalah terbangunnya masyarakat sipil yang kuat, mandiri sekaligus memiliki daya tawar.

Paradigma arus balik juga bersikap kritis terhadap menguatnya logika pasar bebas. Liberalisasi ekonomi dipandang berpotensi memperdalam ketimpangan jika dilepaskan dari kontrol sosial. Karena itu, rekayasa sosial diarahkan pada pemberdayaan masyarakat berbasis kesadaran, bukan semata pertumbuhan ekonomi yang elitis.

Laga uji coba Perseta 1970 kontra PSBI Blitar berakhir imbang

Secara ideologis, paradigma ini berpijak pada sintesis antara antropo-sentrisme dan transendentalisme. Manusia diposisikan sebagai subjek sejarah yang aktif dan sadar, namun tetap terikat pada nilai-nilai ketuhanan. Aktivisme sosial tidak dilepaskan dari etika moral dan tanggung jawab kemanusiaan.

Dalam fase tersebut, PMII memosisikan diri sebagai garda depan pendidikan kesadaran mahasiswa dan rakyat. Organisasi menjadi ruang terbuka bagi ide-ide kritis dan gagasan perlawanan. Dinamika internal menguat, bahkan sering kali menimbulkan ketegangan, tetapi justru dari sanalah lahir kader-kader dengan kesadaran politik tajam di berbagai daerah.

Membaca ulang paradigma arus balik hari ini menghadirkan ironi yang sulit diabaikan. Kenyataan sosial politik kontemporer kembali menunjukkan gejala sentralistik. Kebijakan strategis ditarik ke pusat, ruang sipil menyempit.

Aktivis menghadapi pembungkaman melalui kriminalisasi serta stigmatisasi. Situasi ini mengingatkan pada konteks kelahiran paradigma arus balik lebih dari dua dekade lalu.

Ironinya, perumus utama paradigma tersebut kini berada di pusat kekuasaan. Muhaimin Iskandar menjelma sebagai Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partai yang banyak mengakomodasi alumni PMII dalam struktur pemerintahan dan parlemen.

Sejumlah alumni PMII duduk sebagai menteri, anggota legislatif serta pejabat negara di era pemerintahan Prabowo, bahkan Muhaimin sendiri berulang kali menduduki jabatan strategis di eksekutif dan legislatif di beberapa masa kekuasaan.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan reflektif bagi PMII. Di mana posisi paradigma arus balik ketika kader-kadernya berada dalam struktur kekuasaan yang kembali sentralistik dan cenderung membungkam kritik. Apakah paradigma tersebut tetap menjadi kompas etik, atau justru berubah menjadi dokumen historis yang kehilangan daya hidup politiknya.

Paradigma arus balik sejatinya tidak pernah melarang kader memasuki institusi negara. Yang ditekankan adalah keberpihakan. Ketika kader berada di dalam kekuasaan, mereka dituntut tetap berpihak pada masyarakat pinggiran tetap kritis terhadap kebijakan yang menyingkirkan rakyat serta tetap berani bersuara ketika negara menyimpang dari prinsip keadilan.

Di titik inilah relevansi paradigma arus balik diuji. Paradigma ini tidak cukup dibacakan dalam forum kaderisasi atau dikutip dalam dokumen organisasi. Paradigma ini harus hadir sebagai sikap politik dan etika kekuasaan. Tanpa itu, PMII berisiko tercerabut dari akar sejarahnya sendiri.

Sudah saatnya mengembalikan keberanian moral PMII, termasuk keberanian mengkritik kekuasaan meski di dalamnya duduk alumni sendiri. Sebab kekuatan sejati PMII tidak pernah lahir dari kedekatan dengan negara, melainkan dari kesetiaan pada masyarakat pinggiran yang sejak awal menjadi sumber legitimasi moral gerakan. (Blt)

×