Artikel Opini

Mengapa otonomi daerah bisa berbahaya dalam urusan pemerintahan?

Ketua Komisariat PMII Unisba Blitar, Alex Cahyono. (Dok. Pribadi)
Ketua Komisariat PMII Unisba Blitar, Alex Cahyono. (Dok. Pribadi)

Belakangan ini, wajah pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto kerap menimbulkan perdebatan.

Sejumlah kebijakannya dipandang sebagian kalangan sebagai langkah yang perlahan membawa kembali pola pemerintahan yang serba sentralistik. Salah satu yang cukup mencolok adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja daerah.

Instruksi itu secara langsung memangkas alokasi APBN dan APBD. Bagi pemerintah pusat, efisiensi dianggap perlu demi stabilitas keuangan negara. Namun, di tingkat daerah, kebijakan ini justru menimbulkan kegelisahan. Para kepala daerah yang baru saja dilantik, dari gubernur hingga bupati dan wali kota, kini menghadapi kenyataan bahwa janji-janji kampanye mereka bisa terhambat oleh keterbatasan anggaran.

Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, dilintasi Sungai Brantas dan Kali Lekso

Bayangan buruknya cukup jelas: ketika program pembangunan melambat, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada pemimpin daerah. Lebih parah lagi, efisiensi anggaran dikhawatirkan akan menjadi alasan klasik bagi kepala daerah saat mereka gagal memenuhi harapan rakyat.

Situasi ini makin pelik karena DPRD tentu akan menekan pemerintah daerah untuk mencari jalan lain menutup celah anggaran. Salah satu opsi yang paling mudah ditebak adalah menaikkan pajak dan retribusi daerah.

Jika itu yang terjadi, masyarakatlah yang akhirnya menanggung beban, sementara sumber daya daerah rentan dieksploitasi secara berlebihan.

Meski wilayah kecil, Kota Blitar punya jalur ikonik yang wajib dilewati

Padahal, semangat otonomi daerah sejak reformasi adalah memberi ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri, baik dari segi keuangan, kebijakan, maupun pembangunan. Semangat ini bahkan ditegaskan dalam konstitusi dan berbagai undang-undang. Namun, dengan adanya pemangkasan ini, terasa bahwa desentralisasi fiskal yang menjadi hak daerah semakin tergerus.

Kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan efisiensi benar-benar membuat kinerja pemerintahan daerah lebih efektif, atau justru menjerumuskannya dalam kelemahan baru? Sebab, tanpa pemangkasan pun, ketimpangan pembangunan masih sangat nyata di banyak daerah.

Akhirnya, rakyatlah yang akan merasakan dampak langsung. Kepala daerah yang dipilih melalui pemilu seharusnya menjadi representasi suara rakyat di daerah, bukan sekadar kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Sejarah hari ini: Membuka kembali 41 tahun tragedi berdarah Tanjung Priok

Jika kewenangan mereka terus dipersempit, maka ruh demokrasi yang dibangun pascareformasi bisa perlahan terkikis.

Apa yang terlihat hari ini, bisa jadi hanyalah permulaan dari gejala yang lebih besar: menguatnya ambisi sentralistik. Jika tidak dikoreksi, hal ini berpotensi mengaburkan prinsip good governance yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat secara adil dan aspiratif.

Warung Genteng Herlingga, kuliner malam nikmat dengan harga bersahabat di Blitar
×