Keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi selalu menjadi masalah klasik dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Namun di era pemerintahan Prabowo Subianto saat ini, persoalan tersebut kembali menguat dan bahkan cenderung bergerak ke satu arah yakni penguatan peran pusat dengan dalih efisiensi, stabilitas serta percepatan pembangunan nasional.
Kebijakan efisiensi anggaran, pengetatan fiskal daerah hingga penarikan kewenangan strategis ke pemerintah pusat menjadi indikator nyata peran desentralisasi diuji secara serius.
Padahal secara normatif, desentralisasi dirancang sebagai instrumen untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mempercepat pembangunan daerah serta mengurangi ketimpangan pusat dan daerah.
Kesulitan tersebut bukan semata persoalan teknis administrasi, melainkan problem politik yang mendalam. Diskursus tentang sentralisasi dan desentralisasi selama ini lebih banyak dibangun dalam kerangka interaksi aktor kekuasaan dibandingkan upaya merancang manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien.
Relasi yang terjalin antar-elit pusat dan daerah dalam menentukan kadar desentralisasi lebih berorientasi pada the process of political interaction atau tarik-menarik kepentingan, bukan pada tujuan akhir otonomi itu sendiri.
Di era Prabowo, pola tersebut terlihat semakin nyata. Banyak kebijakan yang seharusnya menjadi tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah justru dipangkas atau diambil alih oleh pusat melalui kebijakan efisiensi, standarisasi program nasional serta sentralisasi perencanaan.
Isu desentralisasi pun kerap direduksi hanya pada persoalan uang, pendapatan daerah serta bagi hasil. Perdebatan mengenai otonomi seolah berhenti pada PAD, dana transfer dan skema anggaran. Padahal, esensi desentralisasi jauh lebih substantif seperti membangun pemerintahan yang responsif, partisipatif, dan akuntabel. Ketika otonomi hanya dimaknai sebagai distribusi fiskal, maka tujuan besar mewujudkan good governance justru kehilangan arah.
Tentu saja, kritik terhadap sentralisasi bukan berarti menutup mata terhadap persoalan birokrasi daerah. Praktik korupsi, rendahnya kapasitas aparatur serta lemahnya perencanaan daerah adalah fakta yang tidak bisa disangkal.
Namun menjawab persoalan tersebut dengan sentralisme kebijakan justru berisiko melahirkan ketergantungan struktural. Daerah menjadi pasif, menunggu instruksi pusat dan kehilangan keberanian untuk merancang pembangunan sesuai kebutuhan sosial, kultural serta geografisnya.
Sentralisasi berlebihan di tengah keragaman kondisi negara berpotensi menghambat laju pembangunan daerah. Kebijakan seragam dari pusat sering kali tidak kompatibel dengan realitas lokal. Apa yang efektif di Jawa belum tentu relevan di wilayah timur Indonesia, daerah perbatasan atau kawasan dengan karakter sosial-ekonomi tertentu. Ketika ruang diskresi daerah dipersempit, maka ketimpangan pembangunan justru berpotensi semakin lebar.
Pada titik ini, problem keseimbangan sentralisasi dan desentralisasi bukan soal memilih salah satu secara ekstrem. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk keluar dari logika kontrol dan kecurigaan terhadap daerah. Negara seharusnya hadir sebagai fasilitator, bukan semata pengendali. Penguatan kapasitas daerah, pembenahan birokrasi lokal dan sistem pengawasan yang sehat jauh lebih strategis dibanding menarik kembali seluruh kewenangan ke pusat.
Jika orientasi kebijakan nasional terus bergerak ke arah sentralisme dengan dalih efisiensi, maka otonomi daerah berisiko tinggal jargon konstitusional.
Keseimbangan antara pusat dan daerah akan tetap sulit diwujudkan selama desentralisasi hanya dipahami sebagai arena negosiasi elit, bukan sebagai instrumen demokratisasi dan pemerataan pembangunan. Selama itu pula, cita-cita good governance akan terus tertunda di balik meja kekuasaan pusat. (Lex/blt)

