Artikel Opini
Beranda » Memotret “Trilogi” Joshua Oppenheimer: Kisah kekerasan, ingatan & globalisasi

Memotret “Trilogi” Joshua Oppenheimer: Kisah kekerasan, ingatan & globalisasi

Sampul film Senyap. (Dok. YPKP 1965)

Jakarta – Tiga film dokumenter garapan Joshua Oppenheimer — The Act of Killing (Jagal), The Look of Silence (Senyap) dan The Globalization Tapes — serta disertasinya Show of Force: Film, Ghosts and Genres of Historical Performance in the Indonesian Genocide membentuk sebuah narasi baru tentang tragedi 1965-66 di Indonesia.

Tulisan yang dipublikasikan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 1965) pada Maret 2022 menyoroti bagaimana karya Oppenheimer dan timnya membuka luka yang selama puluhan tahun terkubur.

Dalam The Act of Killing, Oppenheimer mengajak pelaku kekerasan untuk memerankan kembali kisah mereka sendiri, sebuah pendekatan yang memunculkan keganjilan etis sekaligus membuka lapisan tersembunyi dari kekerasan massal.

Dari “Cornell Paper” ke era kini: Apa yang masih belum Kita pelajari soal Tragedi 1965

Sementara itu, The Look of Silence memperlihatkan sisi penyintas: seorang adik korban berhadapan langsung dengan pelaku pembunuhan kakaknya.

Globalization Tapes kemudian memperluas konteks: bukan hanya kekerasan 1965, tetapi bagaimana ekonomi global, kekuasaan militer, dan struktur negara Indonesia saling terhubung dalam warisan kekerasan dan pekerjaan paksa.

Tulisan YPKP 1965 menekankan bahwa karya-karya Oppenheimer berperan sebagai “cermin” yang memaksa masyarakat melihat ulang narasi resmi tentang 1965.

Perdebatan global: Siapa sebenarnya dalang 1965 di Indonesia?

Ingatan pelaku yang diabadikan dalam film, ingatan korban yang akhirnya muncul, bahkan ingatan ekonomi-politik pekerja kebun di perkebunan—semua dirangkai sebagai satu rangkaian luka yang belum menyembuh.

Salah satu bagian menarik dari tulisan YPKP 1965 menyebut bahwa beberapa buruh di perkebunan di Medan, yang dulu merupakan transmigran Jawa dan survivor 1965, mewawancarai sesama buruh, lalu memerankan agen lembaga keuangan internasional yang “mengusulkan pinjaman”.

Hal ini menunjukkan bagaimana kekerasan 1965 tak berdiri sendiri: ia masuk ke dalam relasi global, ekonomi, dan struktur kekuasaan yang lebih luas.

Ketika “Cornell Paper” dilarang dibaca di Indonesia, mengapa yang terkait 1965 dilarang?

Karena selama ini narasi negara lebih banyak menyoroti “pengkhianatan komunis” dan “kudeta PKI” ketimbang operasi militer, diktasi kekuasaan, dan dampak struktural pasca-kekerasan.

Film dan penelitian Oppenheimer membuka ruang diskusi yang lebih luas: tentang tanggung jawab, pengungkapan fakta, dan warisan traumatika.

Kebingungan, bukan konspirasi: Logika Ben Anderson & McVey soal Tragedi 1965
×