Artikel Opini
Beranda » Membedah Tragedi Oktober 1965, ketika sejarah resmi tak cukup menjelaskan

Membedah Tragedi Oktober 1965, ketika sejarah resmi tak cukup menjelaskan

Benedict Anderson. (Dok. YKPP 1965)

Jakarta – Lebih dari setengah abad berlalu sejak malam 1 Oktober 1965 mengguncang Indonesia. Peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat itu selama puluhan tahun diklaim sebagai “pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).”

Namun sejumlah peneliti dan sejarawan menilai narasi resmi itu menyisakan terlalu banyak lubang.

Salah satu analisis tajam datang dari dua akademisi asal Cornell University, Benedict Anderson dan Ruth McVey, lewat surat terbuka yang mereka kirim ke redaksi sebuah majalah pada 1978.

Tragedi 1965 jadi warisan luka dan tanggung jawab sejarah Indonesia yang belum sembuh

Surat itu kini dipublikasikan kembali oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP 1965) untuk mengingatkan publik bahwa kebenaran sejarah 1965 masih jauh dari tuntas.

Ben dan McVey berpendapat bahwa peristiwa 1 Oktober bukanlah “kup komunis” seperti yang dipropagandakan Orde Baru, melainkan bagian dari konflik internal militer yang kemudian dimanfaatkan untuk menghabisi PKI dan merombak peta kekuasaan politik nasional.

Menurut analisis mereka, aksi kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September didorong oleh ketegangan antara kelompok militer yang pro-Sukarno dan kelompok yang menentangnya.

Ketika negara diam soal Tragedi 1965, masih ada perjuangan korban dan masyarakat sipil menuntut keadilan

Setelah peristiwa berdarah itu, Jenderal Suharto mengambil alih kendali militer dan memulai konsolidasi kekuasaan yang berujung pada lahirnya Orde Baru.

“PKI dijadikan kambing hitam,” tulis Anderson dan McVey, seperti dikutip dalam publikasi YPKP 1965. “Padahal bukti bahwa partai itu merencanakan kudeta tak pernah ditemukan.”

Tak lama setelah peristiwa itu, pemerintah melancarkan kampanye besar-besaran untuk membenarkan operasi penumpasan terhadap PKI. Film, buku pelajaran, hingga upacara peringatan dijadikan alat propaganda.

Buton yang sunyi, kisah korban 1965 yang tak pernah dituturkan

Namun di balik layar, operasi “pembersihan” dilakukan secara brutal. Ratusan ribu orang dibunuh tanpa pengadilan, jutaan lainnya dipenjara, diasingkan, atau kehilangan hak sipil selama puluhan tahun.

Anderson dan McVey menyebut tragedi itu sebagai salah satu pembunuhan politik terbesar abad ke-20, di mana negara berhasil mengubah korban menjadi pelaku di mata publik.

Pandangan CIA yang Berbeda

Operasi Trisula di Blitar Selatan: Tragedi yang dikubur secara diam-diam

Dalam suratnya, Anderson dan McVey juga menyinggung laporan internal Central Intelligence Agency (CIA) yang justru menyatakan bahwa PKI tidak terlibat langsung dalam aksi bersenjata 1 Oktober.

Temuan itu, menurut mereka, memperkuat dugaan bahwa narasi resmi pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dibangun atas dasar politik, bukan bukti hukum.

“Tragedi 1965 memperlihatkan bagaimana propaganda bisa mengalahkan fakta,” tulis keduanya.

Publikasi ulang surat tersebut oleh YPKP 1965 dianggap penting di tengah upaya masyarakat sipil menuntut negara membuka arsip dan mengakui kebenaran sejarah. Selama hampir enam dekade, korban dan keluarga mereka masih hidup dalam stigma sosial yang diwariskan oleh narasi tunggal negara.

“Sejarah tak bisa dipulihkan dengan diam,” tulis YPKP 1965 dalam pengantarnya. “Kebenaran harus diceritakan, meski terlambat.”

Kini, ketika generasi muda tumbuh tanpa pengetahuan utuh tentang 1965, publikasi semacam ini menjadi perlawanan terhadap pelupaan. Ia mengingatkan bahwa tragedi 1965 bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi cermin dari bagaimana kekuasaan dapat membentuk kebenaran sesuai kehendaknya.

Bagi para korban, pengakuan adalah bentuk keadilan pertama. Bagi bangsa ini, keberanian menatap masa lalu adalah satu-satunya cara agar tragedi serupa tak terulang.

Sumber: https://ypkp1965.org/blog/2019/10/01/oktober-1965-apa-yang-terjadi-di-indonesia/

×