Artikel Opini
Beranda » Membaca ulang aliran hukum nasional (bagian III): Teori Hukum Integratif Romli Atmasasmita

Membaca ulang aliran hukum nasional (bagian III): Teori Hukum Integratif Romli Atmasasmita

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.,
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., (Dok. Internet)

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., lahir pada 1 Agustus 1944, merupakan salah satu akademisi hukum paling berpengaruh dalam perkembangan pemikiran hukum Indonesia kontemporer. Ia dikenal sebagai guru besar Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran dengan kepakaran utama pada bidang Hukum Internasional.

Di luar dunia akademik, Romli juga pernah menempati posisi strategis dalam birokrasi negara, khususnya di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pengalaman lintas ranah tersebut menjadikan pemikirannya tidak berhenti pada tataran konseptual, melainkan berakar kuat pada realitas kelembagaan hukum di Indonesia.

Hari Pahlawan, Polres Blitar gelar kegiatan bhakti kesehatan donor darah

Keterlibatan Romli dalam proses legislasi nasional menegaskan konsistensinya dalam menjembatani teori dan praktik hukum. Ia tercatat sebagai anggota Tim Perumus Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dua produk hukum ini menjadi tonggak penting dalam arsitektur pemberantasan korupsi di Indonesia sekaligus memperlihatkan bagaimana gagasan hukum yang berpijak pada nilai dapat diterjemahkan ke dalam instrumen normatif negara.

Latar belakang akademik dan pengalaman birokratis tersebut membentuk cara pandang Romli dalam membaca hukum nasional. Ia menempatkan hukum sebagai fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, budaya serta politik tempat hukum itu bekerja.

Membaca ulang aliran hukum nasional (bagian II): Teori hukum progresif Satjipto Rahardjo

Dari titik inilah Teori Hukum Integratif dirumuskan sebagai upaya untuk menjawab keterbatasan pendekatan hukum yang hanya bertumpu pada norma tertulis atau perilaku sosial semata.

Dalam tradisi pemikiran hukum Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja memandang hukum sebagai sistem norma yang berfungsi mengarahkan perubahan sosial melalui kepastian aturan. Satjipto Rahardjo kemudian memperluas horizon tersebut dengan melihat hukum sebagai sistem perilaku yang hidup dalam praktik masyarakat.

Romli Atmasasmita melengkapi dua pendekatan itu dengan menambahkan dimensi sistem nilai. Bagi Romli, hukum juga merupakan ekspresi nilai moral dan sosial yang hidup dalam kesadaran kolektif bangsa.

Membaca ulang aliran hukum nasional (bagian I): Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja

Ketiga dimensi tersebut diposisikan sebagai satu kesatuan pemikiran yang saling melengkapi. Pendekatan ini relevan dalam menghadapi arus globalisasi yang kerap membawa logika hukum yang seragam dan pragmatis.

Masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai sosial dan moral memerlukan bangunan hukum yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam kerangka inilah Romli memperkenalkan karakter tripartit teori hukum Indonesia dalam konteks rekayasa sosial dan rekayasa birokrasi.

Rekayasa yang dimaksud tidak dipahami sebagai manipulasi sosial yang teknokratis, melainkan sebagai proses sadar untuk membentuk tatanan hukum yang berlandaskan sistem norma, sistem perilaku serta sistem nilai.

Penangkapan menurut Hukum Acara Pidana

Seluruh kerangka tersebut bersumber pada Pancasila sebagai ideologi negara. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal sebagai Teori Hukum Integratif, sebuah konstruksi pemikiran yang menempatkan hukum sebagai sarana pembentukan tatanan sosial sekaligus penguatan institusi negara.

Secara konseptual, Teori Hukum Integratif merupakan hasil sintesis antara Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia. Pemikiran H.L.A. Hart tentang hukum sebagai sistem aturan memberi fondasi teoritik yang memperkuat bangunan tersebut.

Namun Romli tidak menyalin konsep tersebut secara mentah. Ia menyesuaikannya dengan karakter masyarakat Indonesia yang plural, struktur geografis yang kompleks serta pandangan hidup yang beragam.

Melalui perspektif ini, hukum dipahami sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Hukum tidak berdiri di luar masyarakat, melainkan tumbuh bersama dinamika sosial yang melingkupinya. Fungsi hukum diarahkan sebagai sarana pemersatu yang memperkuat solidaritas antara masyarakat dan birokrasi negara.

Dalam konteks nasional maupun internasional, hukum diharapkan mampu menjadi instrumen yang adaptif tanpa kehilangan legitimasi moralnya.

Implikasi terpenting dari Teori Hukum Integratif terletak pada orientasi pendidikan hukum nasional. Romli membayangkan lahirnya generasi intelektual hukum dan praktisi yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan kepekaan sosial.

Hukum dipahami sebagai sistem perilaku yang patut dihormati karena diperkuat oleh nilai-nilai yang berakar pada jiwa bangsa.

Teori ini mendorong lahirnya insan hukum yang mampu membaca dinamika masyarakat nasional dan internasional secara objektif. Sikap apriori terhadap produk hukum negara dipandang sebagai hambatan bagi pembangunan sistem hukum yang sehat.

Kritik tetap diperlukan dalam negara demokrasi, namun harus dibangun di atas pemahaman struktural dan kesadaran nilai. Dalam kerangka tersebut, Teori Hukum Integratif tidak hanya menawarkan bangunan akademik melainkan juga etika berpikir hukum yang relevan bagi Indonesia hari ini.

×