Setelah tiga tahun berdakwah secara diam-diam, Nabi Muhammad SAW mendapat perintah yang mengubah arah dakwahnya:
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Perintah itu datang seperti kilat di langit gurun: jelas, tegas, dan tak bisa ditunda. Sejak saat itu, Islam tidak lagi berbisik di rumah-rumah sempit.
Ia naik ke bukit, menembus pasar, dan mengetuk hati masyarakat Mekah dengan satu kalimat yang mengguncang tatanan lama: “Tiada Tuhan selain Allah.”
Nabi naik ke Bukit Shafa, memanggil kaumnya dengan suara lantang. Satu per satu orang Quraisy berdatangan: pedagang, bangsawan, dan kerabat dekat.
“Bagaimana pendapat kalian,” tanya Nabi, “jika aku katakan bahwa di balik bukit ini ada pasukan yang siap menyerang kalian? Apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menjawab serempak, “Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta.” Dan saat itulah Nabi berkata, “Sesungguhnya aku datang untuk memperingatkan kalian akan azab yang pedih. Katakanlah: tiada Tuhan selain Allah, maka kalian akan selamat.”
Hening. Lalu teriakan pertama pun pecah, dari pamannya sendiri, Abu Lahab. “Celakalah engkau, apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Sejak hari itu, permusuhan dimulai. Kaum Quraisy tidak berani menyerang Nabi secara fisik, Abu Thalib, sang paman, masih menjadi pelindung yang disegani.
Tapi mereka menyerang dengan kata-kata: menuduh Nabi sebagai tukang sihir, pendusta, bahkan orang gila.
Namun semakin mereka mencaci, semakin banyak orang yang penasaran dengan apa yang sebenarnya disampaikan Nabi.
Karena di tengah hiruk-pikuk cemoohan, Al-Qur’an turun dengan bahasa yang tak tertandingi, lembut tapi mengguncang hati.
Orang-orang yang diam-diam mendengarkan bacaan Nabi mulai menangis. Beberapa masuk Islam diam-diam, di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi yang terkenal gagah, setelah mendengar penghinaan terhadap keponakannya.
Tak lama kemudian, Umar bin Khattab juga memeluk Islam, seorang yang sebelumnya paling keras menentangnya.
Ketika Islam mulai menyebar di lapisan masyarakat bawah, kemarahan Quraisy meledak. Orang-orang lemah yang masuk Islam disiksa tanpa ampun: Bilal bin Rabah dijemur di padang pasir dengan batu besar di dadanya, Yasir dan Sumayyah disiksa hingga meninggal, Sumayyah menjadi syahid pertama dalam Islam.
Nabi melihat semua itu dengan hati hancur, tapi tidak bisa melawan dengan kekerasan. Beliau hanya berkata kepada keluarga Yasir, “Sabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat kalian kelak adalah surga.”
Quraisy mencoba menghentikan dakwah lewat jalur politik. Mereka mendatangi Abu Thalib dan memintanya menghentikan keponakannya. Tapi Abu Thalib menolak, meski tahu risikonya besar.
Dalam salah satu momen yang paling menyentuh, Nabi berkata kepadanya: “Demi Allah, wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan risalah ini, aku tidak akan meninggalkannya.”
Abu Thalib hanya terdiam lama, lalu menjawab dengan suara berat: “Pergilah, wahai keponakanku, dan sampaikan apa yang kau yakini. Aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapa pun.” Kalimat itu menjadi tameng moral terakhir bagi Nabi di Mekah.
Selama bertahun-tahun berikutnya, tekanan, ejekan, dan boikot datang silih berganti. Namun yang luar biasa, semakin keras tekanan, semakin kokoh iman para pengikutnya.
Islam tumbuh bukan karena aman, tapi karena kesabaran dan keyakinan yang tidak goyah. Kaum Quraisy akhirnya belajar satu hal yang terlambat mereka sadari: tak ada kekuatan yang bisa menghentikan ide yang datang dari langit.
Dakwah terbuka Nabi bukan sekadar kisah sejarah, tapi pelajaran tentang keteguhan menghadapi tekanan sosial dan politik. Beliau tidak membalas kebencian dengan kebencian, tapi dengan konsistensi dan akhlak.
Dalam dunia yang sering menukar kebenaran dengan kenyamanan, sikap Nabi adalah pengingat bahwa kejujuran kadang sepi, tapi tidak pernah kalah. “Islam bertahan bukan karena jumlah, tapi karena ketulusan orang-orang yang siap menanggung risikonya,” tulis Syaikh Mubarakfury.
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

