Setelah wahyu pertama turun di Gua Hira, kehidupan Muhammad SAW tidak lagi sama.
Dakwah Nabi dimulai dengan lingkaran kecil, bukan di masjid besar atau pasar ramai, tapi di rumah-rumah sederhana, dalam bisikan dan kepercayaan. Ia mengajak orang-orang terdekat: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Zaid bin Haritsah.
Dari Abu Bakar-lah dakwah itu mulai menyebar pelan ke lapisan masyarakat. Ia mengajak teman-temannya, orang-orang berpengaruh seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Talhah bin Ubaidillah.
Nama-nama yang kemudian akan menjadi pilar peradaban Islam. Selama tiga tahun pertama, Nabi berdakwah secara rahasia. Bukan karena takut, tapi karena hati manusia butuh waktu untuk siap menerima cahaya.
Di tengah kota Mekah, di sebuah rumah milik pemuda bernama Arqam bin Abi Arqam, terbentuklah pusat dakwah pertama Darul Arqam.
Di sinilah Nabi mengajarkan Al-Qur’an, memperkuat keimanan para sahabat, dan membangun jiwa perjuangan dalam keheningan.
Darul Arqam bukan sekadar tempat belajar, tapi juga tempat menenangkan hati yang sedang bergetar antara iman dan takut.
Mereka belajar bukan untuk jadi penguasa, tapi untuk jadi manusia yang bebas dari penyembahan terhadap sesama manusia. “Jangan takut pada kekuatan mereka,” kata Nabi kepada para sahabatnya. “Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Kaum Quraisy mulai gelisah. Mereka tidak takut pada jumlah pengikut Nabi yang masih sedikit, tapi pada pesan yang dibawanya: semua manusia sama di hadapan Allah.
Pesan itu menghancurkan struktur sosial Mekah yang dibangun atas dasar suku, status, dan kekayaan. Mereka mencoba menekan Nabi dengan cara halus: mengirim utusan untuk menawarinya harta, kedudukan, bahkan perempuan cantik.
“Kalau kau ingin kekuasaan, kami akan menjadikanmu raja,” kata salah satu tokoh Quraisy.
Tapi Nabi menjawab dengan ketenangan yang tak tergoyahkan: “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”
Ketika bujukan gagal, ancaman mulai datang. Mereka mencaci, mengolok, bahkan mengucilkan Nabi dan para pengikutnya.
Namun justru dalam tekanan itu, dakwah semakin kuat. Semakin mereka ditekan, semakin besar keyakinan yang tumbuh.
Para sahabat belajar bahwa iman bukan sekadar pengakuan, tapi keteguhan di saat semua pintu tertutup. Dari sinilah muncul generasi yang tidak hanya tahu tentang Allah, tapi juga berani hidup untuk-Nya.
Masa dakwah rahasia di Mekah adalah pelajaran tentang strategi, kesabaran, dan keberanian intelektual. Nabi tidak terburu-buru membentuk negara atau menuntut kekuasaan; beliau memulai dari hati manusia.
Karena perubahan sejati selalu lahir dari keyakinan, bukan dari kekuatan. “Jalan kebenaran tidak selalu terang di awal,” tulis Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, “tapi siapa pun yang melangkah di atasnya dengan sabar, akhirnya akan melihat cahaya yang tidak pernah padam.”
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

