Jakarta – Sebuah laporan akademik setebal seratus halaman menimbulkan kepanikan di kalangan pejabat Orde Baru. Bukan karena isinya berisi ajakan memberontak, tapi karena isinya terlalu masuk akal.
Laporan itu berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, karya dua peneliti muda Cornell University: Benedict Anderson dan Ruth McVey. Dalam waktu singkat, laporan itu dicap berbahaya. Bukan oleh rakyat, tapi oleh negara.
Awalnya, Cornell Paper disusun untuk kalangan akademik terbatas. Ben Anderson dan McVey mengirimkannya pada beberapa kolega di luar negeri sebagai analisis awal tentang peristiwa G30S, bukan untuk publikasi luas.
Namun, salinan dokumen itu bocor. Dunia akademik internasional mulai membicarakannya, dan berita itu akhirnya sampai ke Jakarta. Reaksi penguasa? Panik.
Dalam versi mereka, semua yang menentang narasi resmi berarti simpatisan PKI. Maka laporan ilmiah pun dianggap ancaman ideologis.“Di mata negara yang takut pada kebenaran, penelitian adalah bentuk pemberontakan,” tulis seorang sejarawan kemudian.
Begitu berita tentang laporan itu sampai ke Indonesia, pemerintah Orde Baru segera melarang peredarannya. Kedutaan Indonesia di Washington bahkan mengirim protes resmi kepada Cornell University.
Nama Anderson dan McVey dicoret dari daftar akademisi yang boleh masuk ke Indonesia, persona non grata. Di kampus-kampus Indonesia, laporan ini tidak pernah disebut secara resmi.
Buku-buku sejarah menulis G30S sebagai pemberontakan PKI, dan siapa pun yang meragukannya bisa dicap “tidak bersih lingkungan.” Dalam rezim yang membangun legitimasi di atas narasi kudeta, membaca Cornell Paper sama saja dengan meragukan fondasi negara.
Beredar di Bawah Meja
Namun larangan hanya membuat sesuatu menjadi lebih menarik. Salinan Cornell Paper mulai beredar diam-diam. Fotokopi lusuh berpindah dari satu tangan ke tangan lain, jurnalis, mahasiswa, dosen, dan aktivis HAM yang ingin tahu versi lain dari sejarah.
Mereka membacanya di ruang asrama, perpustakaan tertutup, atau bahkan di bawah meja redaksi surat kabar. Tidak sedikit yang kemudian diinterogasi hanya karena memiliki salinannya.
“Di negeri yang takut pada arsip, kertas bisa lebih berbahaya dari peluru,” tulis salah satu pengamat asing pada 1972.
Selama tiga dekade, pemerintah berusaha menenggelamkan Cornell Paper dalam sunyi. Namun justru karena dibungkam, laporan itu mendapatkan status mitos.
Di luar negeri, ia menjadi bacaan wajib bagi peneliti Indonesia; di dalam negeri, ia jadi bisikan di kalangan jurnalis dan akademisi yang menolak tunduk. Anderson sendiri tidak bisa masuk Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Ketika akhirnya ia kembali pada 1999, setelah jatuhnya Soeharto, sambutannya bukan dari pejabat, tapi dari mahasiswa dan korban 1965 yang akhirnya tahu siapa yang berani menulis versi lain.
Cornell Paper tidak pernah dimaksudkan sebagai buku suci.Namun rezim yang melarangnya tanpa memahami justru membuatnya abadi. Setiap generasi yang membaca laporan itu menemukan keberanian kecil, bahwa sejarah tidak harus hanya satu versi.
Ben Anderson dan McVey mungkin menulis analisis dingin, tapi efeknya membakar: ia mengubah kertas menjadi alat perlawanan terhadap monopoli kebenaran. “Larangan bukan cara mematikan ide,” kata Anderson saat diwawancarai setelah Reformasi. “Itu justru cara paling efektif membuat ide menjadi legenda.”
Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

