Blitar – Dandhy Laksono mengkritik cara negara memandang wilayah dan rakyatnya.
Ia menilai alasan Indonesia sebagai negara kepulauan kerap digunakan untuk membenarkan buruknya pelayanan publik, namun tidak berlaku ketika menyangkut eksploitasi sumber daya alam.
“Kita sering diminta memaklumi, katanya negara ini besar, pulau-pulau jauh. Tapi anehnya, kalau urusannya pengerukan sumber daya, sampai ke wilayah paling ujung pun didatangi,” ujar Dandhy, Selasa, 23 Desember 2025.
Menurutnya, terdapat standar ganda dalam kebijakan negara. Ketika berkaitan dengan pelayanan masyarakat, jarak dan luas wilayah dijadikan alasan.
Namun ketika menyangkut kepentingan ekonomi dan eksploitasi, hambatan geografis seolah tidak pernah menjadi masalah.
Ia juga menyoroti penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinilainya tidak sejalan dengan kepentingan publik. Dandhy mencontohkan proyek properti di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, yang justru ditetapkan sebagai PSN.
“Proyek properti skala kecil bisa disebut proyek strategis nasional, sementara bencana dengan jutaan pengungsi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak pernah disebut sebagai bencana nasional,” katanya.
Dandhy menilai kondisi tersebut bertentangan dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya, kekayaan alam dikelola negara, sementara dampak bencana dan kerusakan ditanggung rakyat.
Ia menyampaikan bahwa kritik tersebut lahir dari pengalaman lapangan di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, hingga Papua. Dalam ekspedisi terakhir, timnya merekam kondisi Papua dari sudut pandang generasi muda setempat. (ke/blt)

