Setelah bertahun-tahun berdakwah di Mekah dengan tekanan dan penolakan, Nabi Muhammad SAW akhirnya melihat secercah harapan.
Harapan itu datang bukan dari kaum Quraisy, bukan dari orang-orang berkuasa, melainkan dari sekelompok peziarah sederhana asal Yatsrib, kota yang kelak dikenal sebagai Madinah al-Munawwarah.
Pada musim haji tahun ke-11 kenabian, Nabi bertemu dengan enam orang dari Yatsrib di sebuah lembah kecil bernama Aqabah. Mereka mendengarkan risalah Islam dan langsung tersentuh.
“Agama ini persis seperti yang disampaikan oleh pendeta kami tentang nabi terakhir,” kata salah satu dari mereka.
Mereka pulang dengan membawa pesan Nabi dan menyebarkannya di Yatsrib. Tahun berikutnya, datang dua belas orang dan mengulangi pertemuan di tempat yang sama.
Inilah yang disebut Bai’at Aqabah Pertama, perjanjian awal untuk beriman kepada Allah, menjauhi dosa, dan menaati Rasul-Nya. Perjanjian itu sederhana tapi besar maknanya: sebuah komunitas kecil di luar Mekah berjanji melindungi Nabi dan agamanya.
Bai’at Aqabah Kedua: Janji untuk Melindungi dengan Nyawa
Setahun kemudian, datang rombongan yang lebih besar, tujuh puluh tiga laki-laki dan dua perempuan dari Yatsrib. Mereka bertemu Nabi secara rahasia di tengah malam.
Pertemuan itu menegangkan, karena bila Quraisy mengetahui, semuanya bisa berakhir dengan darah. Nabi bertanya, “Jika kalian bersedia melindungiku seperti melindungi keluarga kalian sendiri, aku akan datang kepada kalian.”
Mereka menjawab tanpa ragu, “Kami siap menanggungnya, meski nyawa kami menjadi taruhannya.” Perjanjian itu kemudian dikenal sebagai Bai’at Aqabah Kedua. Dari titik itu, hijrah menjadi perintah yang nyata.
Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Yatsrib. Satu per satu kaum Muslimin meninggalkan Mekah dengan hati berat.
Ada yang berangkat diam-diam di malam hari, ada yang tertangkap dan disiksa, ada pula yang meninggalkan harta tanpa menoleh.
Hijrah bukan sekadar pindah tempat, tapi pembuktian cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang hijrah disebut Muhajirin, dan mereka akan dikenang selamanya sebagai generasi yang menukar kenyamanan dengan keyakinan.
Ketika hampir semua sahabat sudah pergi, Nabi masih tinggal di Mekah menunggu perintah Allah. Kaum Quraisy, panik melihat Islam menyebar ke luar kota, mengadakan rapat di Darun Nadwah.
Keputusan mereka: Nabi harus dibunuh. Malam ketika para pembunuh mengepung rumahnya, Nabi membaca ayat: “Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, lalu Kami tutup penglihatan mereka, maka mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin: 9)
Beliau meninggalkan rumahnya tanpa terlihat dan menuju rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Keduanya kemudian bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari, sementara para pengejar Quraisy menyisir setiap sudut padang pasir.
Ketika mereka hampir ditemukan, Abu Bakar berbisik takut, “Wahai Rasulullah, jika mereka menunduk sedikit, mereka akan melihat kita.”
Nabi menjawab tenang, “Jangan takut. Sesungguhnya Allah bersama kita.” Kata itu menjadi simbol kekuatan sejati: ketenangan yang lahir dari iman.
Sambutan di Madinah: Kota yang Menyambut Cahaya
Setelah perjalanan panjang, Nabi dan Abu Bakar tiba di Quba, dekat Madinah. Di sana, beliau mendirikan masjid pertama dalam sejarah Islam sebelum melanjutkan ke kota utama.
Penduduk Madinah, yang kini disebut Kaum Anshar, menyambut mereka dengan sorak dan nyanyian: “Telah datang kepada kami cahaya bulan purnama dari lembah Wada’.
Kami wajib bersyukur atas seruan kepada Allah.” Kota Yatsrib berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah, Kota yang Bercahaya. Dan dari kota inilah, Islam tumbuh bukan hanya sebagai agama, tapi sebagai peradaban.
Hijrah Nabi bukan sekadar perpindahan geografis. Ia adalah perjalanan spiritual, dari ketertekanan menuju kebebasan, dari penindasan menuju persaudaraan.
Hijrah mengajarkan bahwa setiap perubahan besar dimulai dengan keberanian meninggalkan sesuatu yang mengikat. “Hijrah adalah garis pemisah antara iman dan ragu,” tulis Mubarakfury. “Bukan tentang jarak, tapi tentang niat.”
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

