Indonesia dengan kabinet barunya kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025. Berdasarkan Surat Edaran No. 7441/MDM.A/TU.02.03/2025 tanggal 24 April 2025, tema yang diusung adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”.
Namun, di balik seremonial tahunan ini, penting mengevaluasi apakah peringatan Hardiknas benar-benar menjadi momentum refleksi atau sekadar rutinitas belaka.
Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan yang Visioner
Tanggal 2 Mei dipilih sebagai Hardiknas karena merujuk pada hari kelahiran Ki Hajar Dewantara (Soewardi Surjaningrat), tokoh pendidikan Indonesia yang meletakkan dasar-dasar pendidikan berbasis kemerdekaan dan humanisme.
Gagasannya tentang “Pendidikan yang Memerdekakan” sistem pendidikan yang berpusat pada anak, bukan sekadar transfer pengetahuan.
Meski Ki Hajar Dewantara menginginkan pendidikan yang berorientasi pada anak, faktanya sistem pendidikan kita masih terjebak dalam: Pendidikan gaya bank, hafalan, bukan pemahaman.
Kemudian, pembelajaran kognitif dominan, mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Kurikulum kaku yang tidak adaptif terhadap kebutuhan individu dan lingkungan.
Sudahkah kita benar-benar mewujudkan pendidikan yang memanusiakan?
Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan tidak boleh terkurung di empat dinding kelas, melainkan harus bersinggungan langsung dengan alam dan kehidupan nyata.
Sayangnya, sistem saat ini justru: membatasi pengalaman belajar siswa hanya pada buku teks. Minim eksplorasi lingkungan dan kearifan lokal. Menciptakan generasi yang terpisah dari realitas sosial dan ekologisnya.
Pendidikan yang bermutu harus selaras dengan budaya dan alam sekitar. Ketika sekolah mengintegrasikan kearifan lokal dalam pembelajaran, siswa tidak hanya paham teori, tetapi juga: menghargai lingkungan dan tradisinya.
Selain itu juga, mengembangkan keterampilan hidup (life skills) yang relevan, menjadi bagian dari solusi masalah di komunitasnya.
Pendidikan kita hari ini masih terjebak dalam model transfer pengetahuan satu arah, membuat siswa pasif, bosan, dan kehilangan makna belajar. Mereka datang, duduk, menghafal, lalu pulang—tanpa mengalami proses pembelajaran yang memberdayakan.
Mari jadikan Hardiknas bukan sekadar seremonial, tapi momentum untuk transformasi nyata!