Artikel Opini
Beranda » Dari “Cornell Paper” ke era kini: Apa yang masih belum Kita pelajari soal Tragedi 1965

Dari “Cornell Paper” ke era kini: Apa yang masih belum Kita pelajari soal Tragedi 1965

Benedict Anderson. (Dok. YKPP 1965)

Jakarta – Enam puluh tahun telah lewat sejak darah tumpah di malam 30 September 1965. Rezim yang lahir dari tragedi itu sudah tumbang dua dekade lalu.

Tapi setiap kali peringatan datang, kita masih berdebat hal yang sama: siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang berhak menceritakan. Negara sudah berganti wajah, tapi ingatan kolektifnya tetap dibangun dari ketakutan.

Dan di tengah kabut itulah, Cornell Paper masih terasa relevan bukan karena isinya lengkap, tapi karena ia satu-satunya yang berani mengakui: kita sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Pengaruh Ben Anderson & McVey terhadap kajian Indonesia modern, terutama soal Tragedi 1965

Luka yang Dirawat, Bukan Disembuhkan

Setelah Reformasi, Indonesia membuka pintu demokrasi, tapi menutup jendela sejarah. Film, buku, dan diskusi tentang 1965 kini boleh beredar, tapi tidak pernah menyentuh ruang kebijakan.

Tidak ada pengadilan, tidak ada permintaan maaf resmi, hanya pernyataan dingin bahwa “peristiwa itu kompleks.” Kata kompleks menjadi cara paling sopan untuk menghindari tanggung jawab.

Perdebatan global: Siapa sebenarnya dalang 1965 di Indonesia?

Padahal yang dibutuhkan bukan jawaban sempurna, melainkan pengakuan sederhana: bahwa jutaan orang kehilangan keluarga, pekerjaan, dan identitas karena sejarah yang disusun dengan kebohongan.

“Negara ini lebih takut pada ingatan daripada pada peluru,” tulis seorang peneliti muda Indonesia, setengah abad setelah Anderson dan McVey.

Sampai hari ini, narasi resmi masih hidup di buku pelajaran sekolah: PKI adalah dalang, Soeharto penyelamat, rakyat penonton. Kalimat itu diajarkan dengan tenang di ruang kelas yang tidak tahu bahwa generasi yang menghafalnya sedang tumbuh di atas kuburan yang belum diberi nisan.

Ketika “Cornell Paper” dilarang dibaca di Indonesia, mengapa yang terkait 1965 dilarang?

Ben Anderson pernah berkata: “Ketika negara memonopoli sejarah, rakyat berhenti berpikir, dan mulai percaya.”

Kita hidup di zaman di mana banyak orang lebih rela mempercayai mitos lama daripada menerima kenyataan bahwa kebenaran itu bisa berantakan.

Akademisi Baru, Luka Lama

Kebingungan, bukan konspirasi: Logika Ben Anderson & McVey soal Tragedi 1965

Kini, universitas-universitas Indonesia mulai berani membuka diskusi tentang 1965. Namun, keberanian itu sering berhenti di seminar, tidak sampai ke kurikulum, tidak sampai ke undang-undang.

Bahkan sebagian peneliti muda masih harus bicara dengan kode: mengganti kata pembantaian dengan tragedi, mengganti kata korban dengan terdampak. Kita masih berputar di lingkar yang sama: berani membicarakan masa lalu, tapi belum siap menanggung akibatnya.

Ben Anderson dan McVey menulis Cornell Paper bukan untuk menuduh siapa pun. Mereka hanya ingin menunjukkan bahwa kebohongan politik dimulai ketika negara berhenti mau memahami kekacauan sebagai bagian dari dirinya sendiri.

Sayangnya, setengah abad kemudian, pelajaran itu belum juga dipelajari. Kita masih mengulang pola yang sama: membungkam yang tidak sejalan, menuduh yang bertanya, dan menyederhanakan sejarah agar terasa nyaman. Padahal sejarah yang nyaman selalu berbahaya, karena ia menghapus rasa bersalah tanpa pernah menumbuhkan rasa belajar.

Kini, ketika dokumen-dokumen lama dibuka dan generasi baru mulai membaca ulang, satu pertanyaan kembali menggema: apa gunanya tahu kalau kita tidak berani mengakuinya? Ingatan tanpa keberanian hanya jadi arsip. Dan keberanian tanpa pengakuan hanya jadi ritual.

“Bangsa yang sehat bukan yang melupakan masa lalunya,” tulis Anderson, “tapi yang berani menatapnya tanpa ilusi.”

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×